Sudah bukan rahasia umum lagi, minangkabau merupakan tanah yang melahirkan banyak sosok-sosok yang berpengaruh selama zaman perjuangan melawan kolonialisme. Tak sedikit nama putra Minangkabau yang dikenang sebagai pahlawan nasional. Seperti Muhammad Hatta, Sutan Sjahrir, Tan Malaka, Syafruddin Prawiranegara dan masih banyak lainnya. Namun, dari sekian banyak tokoh-tokoh politik tersebut, ternyata ada sejumlah jurnalis atau wartawan berdarah minang yang punya andil besar dalam perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia. Siapa saja wartawan berdarah minang tersebut ? Yuk simak ulasan tentang wartawan berdarah minang berikut yang dilansir dari Katasumbar.com.
Roehana Koeddoes
Ia merupakan wartawati pertama Indonesia yang pada tahun 1911 mendirikan sekolah Kerajinan Amai Setia (KAS) di Koto Gadang. Sembari aktif di bidang pendidikan yang disenanginya, Ruhana menulis di surat kabar perempuan, Poetri Hindia.
Ketika dibredel pemerintah Hindia-Belanda, Ruhana berinisiatif mendirikan surat kabar, bernama Sunting Melayu, yang tercatat sebagai salah satu surat kabar perempuan pertama di Indonesia. Ruhana lahir dari ayahnya yang bernama Mohamad Rasjad Maharadja Soetan dan ibunya bernama Kiam.
Roehana adalah kakak tiri dari Soetan Sjahrir, Perdana Menteri Indonesia yang pertama dan juga mak tuo (bibi) dari penyair terkenal Chairil Anwar. Dia juga sepupu Agus Salim. Roehana hidup pada zaman yang sama dengan Kartini, ketika akses perempuan untuk mendapat pendidikan yang baik sangat dibatasi. Pada tanggal 7 November 2019, Ruhana dianugerahi gelar Pahlawan Nasional oleh Presiden Joko Widodo dalam sebuah upacara di Istana Negara.
Rosihan Anwar
Wartawan berdarah Minang satu ini adalah putra Bumi Sari Natar, Sirukam, Kabupaten Solok yang lahir pada 10 Mei 1922. Selain dikenal sebagai tokoh pers, Rosihan juga dikenal sebagai sejarawan, sastrawan, dan budayawan Indonesia. Rosihan merupakan salah seorang yang produktif menulis.
Di masa produktifnya, ia pernah dicalonkan sebagai Anggota Konstituante mewakili Partai Sosialis Indonesia. Rosihan memulai karier jurnalistiknya sebagai reporter Asia Raya pada masa pendudukan Jepang tahun 1943 hingga menjadi pemimpin redaksi Siasat (1947-1957) dan Pedoman (1948-1961).
Pada masa perjuangan, ia pernah disekap oleh penjajah Belanda di Bukit Duri, Batavia (kini Jakarta). Kemudian pada tahun 1961, koran Pedoman miliknya dibredel penguasa. Pada masa Orde Baru, ia menjabat sebagai Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (1968-1974). Tahun 1973, Rosihan mendapatkan anugerah Bintang Mahaputra III, bersama tokoh pers Jakob Oetama.
Namun kurang dari setahun setelah Presiden Soeharto mengalungkan bintang itu di lehernya, koran Pedoman miliknya ditutup. Pada 1950, bersama Usmar Ismail ia mendirikan Perusahaan Film Nasional (Perfini). Dalam film pertamanya, Darah dan Doa, ia sekaligus menjadi figuran.
Dilanjutkan sebagai produser film Terimalah Laguku. Sejak akhir 1981, ia mempromosikan film Indonesia di luar negeri dan tetap menjadi kritikus film sampai akhir hayatnya. Pada tahun 2007, Rosihan Anwar dan Herawati Diah, yang ikut mendirikan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) di Surakarta pada 1946, mendapat penghargaan ‘Life Time Achievement’ atau ‘Prestasi Sepanjang Hayat’ dari PWI Pusat.
Natar Zainuddin
Natar adalah putra berdarah Minangkabau kelahiran Padang, Hindia Belanda, 1890. Selama masa perjuangan ia bergerak bersama dengan Ahmad Khatib Datuk Batuah dan Djamaluddin Tamin. Ketiganya merupakan tokoh pejuang yang menggabungkan ajaran Islam dengan paham Marxisme sebagai senjata dalam perjuangan melawan penjajahan kolonialis Belanda pada awal abad ke-20.
Natar Zainuddin yang merupakan ahli propaganda pada serikat buruh kereta api (VSTP), bertemu dengan Ahmad Khatib Datuk Batuah di Aceh ketika melakukan perjalanan keliling Sumatera. Perjalanan itu mereka lakukan demi meninjau keadaan sekolah Sumatra Thawalib di berbagai wilayah pada tahun 1923.
Mereka kemudian menjadi akrab, lalu sama-sama berangkat ke Jawa mengikuti kongres Partai Komunis Indonesia/Sarekat Islam Merah (SI-Merah) di Bandung, Jawa Barat. Dalam kongres tersebut mereka sangat terkesan dengan pidato Haji Misbach yang menguraikan tentang Islam dan Komunisme.
Selama masa perjuangan, Natar mendirikan koran berpaham Islam Komunis yang bernama Djago! Djago!. Sedangkan Ahmad Khatib Datuk Batuah menyebarkannya di perguruan Islam Sumatra Thawalib, dan juga melalui koran Pemandangan Islam bersama dengan Djamaluddin Tamin.
Khailan Syamsu
Rangkayo Khailan Syamsu atau Rangkajo Chailan Sjamsoe Datoek Toemenggoeng lahir di Bukittinggi pada 6 April 1905 lalu. Ia merupakan tokoh pejuang hak perempuan dan kemerdekaan Indonesia yang juga dikenal sebagai wartawan dan penulis.
Dalam pergaulan antar-bangsa, namanya juga dikenal sebagai seorang penggiat Gerakan Esperanto, dan dipercaya sebagai Presiden Federasi Esperanto Asia Selatan serta Presiden Asosiasi Esperanto Islam.
Khailan bersama Rukmini Santoso merupakan tokoh aktivis perempuan terkemuka di Hindia Belanda yang memperjuangkan hak politik dan hak memilih wakil-wakil kaum perempuan dalam pemerintahan dan Dewan Rakyat atau Volksraad pada era 1930-an.
Ia bergabung sebagai anggota dalam Vereeniging voor Vrouwenkiesrecht in Nederlands-Indië, suatu organisasi yang memperjuangkan hak pilih perempuan. Mereka berdua kemudian menjadi figur utama pada organisasi tersebut.
Ia dipercaya memimpin sebagai Ketua Perkumpulan Pemberantasan Perdagangan Perempuan dan Anak-Anak (P4A) setelah organisasi itu terbentuk pada tahun 1931. Pada tahun 1932 ia mendirikan majalah Pedoman Isteri dan sekaligus menjadi editornya hingga tahun 1939.
Majalah itu kemudian menjadi corong Persatuan Isteri Pegawai/Priyayi Bestuur (PIPB) yang didirikan pada tahun 1936. Ia juga menjabat sebagai Presiden Persatuan Isteri Pegawai/Priyayi Bestuur.
Chalid Salim
Chalid Salim atau Abdoel Chalid Salim adalah wartawan berdarah minang yang lahir pada 24 November 1902 lalu. Nama lain dari Chalid Salim adalah Ignatius Franciscus Michael Salim. Selama masa perjuangan ia adalah seorang wartawan dan tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia berhaluan kiri.
Ia merupakan putra Sutan Muhammad Salim, seorang jaksa dari Koto Gadang, Agam, Sumatra Barat. Dia juga merupakan adik Haji Agus Salim. Setelah meninggalkan bangku sekolah MULO (1923) di Weltevreden, Chalid Salim pergi bekerja ke Lumajang.
Setelah itu ia mengikuti saudaranya Jacob Salim di Pontianak. Disini ia bekerja di kantor advokat dan aktif menulis di mingguan Halilintar Hindia.
Kemudian ia pindah ke Medan, dan bekerja sebagai redaktur Pewarta Deli. Tulisannya banyak mengecam kebijakan pemerintah Hindia Belanda, seperti poenale sanctie, hingga kedoknya sebagai aktivis komunis terbongkar.
Chalid dipenjara selama setahun di Medan, sebelum akhirnya dibuang ke Boven Digul. Ia mendekam di Digul selama 15 tahun (1928-1943), dan merupakan salah satu tahanan politik yang paling lama mendekam di kamp tersebut.
Samaun Bakri
Samaun adalah wartawan berdarah minang yang lahir di Kurai Taji, Pariaman pada 28 April 1908 lalu. Selama masa perjuangan ia merupakan teman akrab dan utusan kepercayaan presiden pertama Indonesia, Soekarno. Ia juga pernah bertugas sebagai Wakil Residen Banten.
Perjuangan Samaun bermula ketika dia bekerja di kantor Residen Padang, tetapi tidak lama kemudian ia keluar karena tidak suka dengan keangkuhan orang Belanda. Semangat anti-penjajahannya kemudian membuat ia menjadi aktivis di berbagai partai politik di Sumatra Barat, seperti Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), dan Persatuan Muslim Indonesia (Permi).
Ia kemudian bergabung dengan ormas Muhammadiyah setelah partai-partai politik pergerakan dibubarkan pemerintah kolonial. Perjuangan Samaun juga dilakukan melalui media massa dengan menjadi wartawan surat kabar Persamaan pada tahun 1929.
Ia mengkritik kebijakan pemerintah kolonial sehingga membuat kontrolir Pariaman, Spits, marah dan mengusir Samaun dari tanah kelahirannya melalui Wali Nagari Kurai Taji, Moehammad Noer Majolelo yang masih berkerabat dengannya.
Usmar Ismail
Usmar Ismail merupakan seorang seorang sutradara film, sastrawan, wartawan, dan pejuang Indonesia yang lahir di Fort De Kock pada 20 Maret 1921 lalu. Ia adalah anak dari pasangan Datuk Tumenggung Ismail, guru Sekolah Kedokteran di Padang, dan Siti Fatimah. Ia mempunyai seorang kakak yang juga terjun ke dunia sastra, yakni Dr. Abu Hanifah yang menggunakan nama pena, El Hakim.
Usmar sudah menunjukkan bakat sastranya sejak masih duduk di bangku SMP. Saat itu, ia bersama teman-temannya, antara lain Rosihan Anwar, ingin tampil dalam acara perayaan hari ulang tahun Putri Mahkota, Ratu Wilhelmina, di Pelabuhan Muara, Padang.
Bakatnya kian berkembang saat bekerja di Keimin Bunka Sidosho (Kantor Besar Pusat Kebudayaan Jepang). Di tempat itu, ia bersama Armijn Pane dan budayawan lainnya bekerja sama untuk mementaskan drama.
Pada 1943, ia mendirikan dan menjadi ketua Sandiwara Penggemar “Maya” bersama El Hakim, Rosihan Anwar, Cornel Simanjuntak, Sudjojono, H.B. Jassin, dan lain-lain. Sesudah masa proklamasi kemerdekaan, Usmar menjalani dinas militer dan aktif di dunia jurnalistik di Jakarta.
Ketika Belanda kembali bersama tentara Sekutu, ia menjadi anggota TNI di Yogyakarta dengan pangkat mayor. Bersama dua rekannya, Sjamsuddin Sutan Makmur dan Rinto Alwi, mereka mendirikan surat kabar yang diberi nama Rakyat.
Dalam bidang keredaksian dan kewartawanan, Usmar pernah menjadi pendiri dan redaktur Harian Patriot, redaktur majalah bulanan Arena, Yogyakarta (1948), “Gelanggang”, Jakarta (1966-1967). Ia juga pernah menjadi ketua Persatuan Wartawan Indonesia (1946-1947).
Saat menjalankan profesi sebagai wartawan itulah, Usmar pernah dijebloskan ke penjara oleh Belanda karena dituduh terlibat kegiatan subversi. Saat itu ia bekerja sebagai wartawan politik di Kantor Berita Antara dan sedang meliput perundingan Belanda—RI di Jakarta. Peristiwa itu terjadi pada tahun 1948.