Salah satu dawuhnya, Mbah Maimoen Zubair menjelaskan kebanggaan ulama dahulu terhadap kampungnya. Cirinya, menisbatkan nama diri dengan tempat kelahirannya. Biasanya dengan menambahkan ya’ nisbat di akhir nama kampung atau kotanya.
Mbah Maimoen mencontohkan, Imam Abu Zakaria An-Nawawi, yang dinisbatkan pada nama desa Nawa, daerah Hauran, Suriah. Ada juga ad-Damanhuri, Assuyuthi, al-Bukhari, al-Kindi, al-Ghazi, al-Baihaqi, al-Jailani, hingga Imam as-Sya’rani yang dinisbatkan pada kampung Saqiyah Abu Sya’rah (Mesir), dan seterusnya.
Pola penisbatan semacam ini berbeda dengan tradisi di kawasan Maghribi (Afrika Utara), yang lebih menyukai penempelan nama kabilah. Misalnya, karena berasal dari kabilah Sanusi, maka Syekh Muhammad bin Yusuf, penulis kitab Ummul Barahin, menggunakan As-Sanusi di belakang namanya. Termasuk kabilah Jazulah yang merupakan asal dari Syekh Sulaiman al-Jazuli, penyusun Dalail Khairat.
Yang paling kondang tentu saja Abu Abdillah Sidi Muhammad bin Daud alias Ibnu Ajurrum, penyusun kitab nahwu Jurumiyah, yang menggunakan nama Asshanhaji karena beliau lahir dari kabilah Shanhajah.
Bagaimana dengan ulama Nusantara yang ada di Makkah? Yang pasti, keberadaan mereka di tanah haram ini dinisbatkan kepada asalnya: al-Bantani, al-Banjari, al-Falimbani, al-Baweyani, as-Sidarjawi, al-Bimawi, al-Jugjawi, al-Bughuri, al-Banyumasi, al-Batawi, al-Fadani hingga al-Kelantani. Mereka berkumpul, saling belajar dan berbagi. Mereka juga menghimpun diri dan bahkan bisa menyelenggarakan pendidikan melalui sebuah lembaga legendaris, Darul Ulum, Makkah.
Syekh Yasin keturunan Minangkabau, lahir dan wafat di Makkah, sedangkan Syekh Muhajirin lahir di Betawi, belajar dan mengajar di Makkah, lalu kembali ke Tanah Air merintis pesantren An-Nida’ al-Islamy, Bekasi.
Mbah Maimoen Zubair, ketika berada di Makkah pada 1950-an sempat ngaji hadits kepada beliau, dan menyebutnya dengan panggilan hormat “Syaikhuna”.
Reputasi keilmuannya layak diacungi jempol. Syekh Muhajirin atau orang Betawi menyebutnya Tuan Guru Jirin, menulis empat jilid Misbahudz Dzalam, Syarah Bulughul Maram. Karya yang indah dan berbobot. Beberapa karya lainnya masih ditahqiq dan rencana diterbitkan lagi. Dalam catatan keluarga, kurang lebih ada 30 kitab yang beliau tulis. Kajiannya lintas disiplin ilmu: tafsir, nahwu, balaghah, ushul fiqh, ushulul hadits, faraid, Sirah Nabawiyah, mantiq, dan fiqh. Komplit, betul.
Dalam sebuah riwayat, Syekh Muhajirin pernah ditawari posisi sebagai Mufti di salah satu negara bagian di Malaysia. Namun, beliau dengan halus menolak dan lebih memilih kembali ke Tanah Air, merintis pesantren dan mengajarkan ilmu kepada masyarakat. Sebagaimana ulama terdahulu, beliau bangga dengan kampung halamannya.
Wallahu A’lam Bisshawab.
Sumber artikel dan photo : santrinews.com