Kritikan demi kritikan diterima Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumbar pasca menolak prinsip konsep Islam Nusantara masuk ke Ranah Minang. Dari MUI Pusat, hingga utusan presiden menganggap MUI Sumbar keliru. Meski demikian, MUI Sumbar tak sendiri. Para ulama Minangkabau menjaga MUI untuk tetap pada prinsipnya.
Ketua Front Pembela Islam (FPI) Sumbar, Buya Busra menegaskan, keputusan MUI tersebut bukan hanya keputusan pengurus MUI saja, tapi merupakan keputusan ulama Sumbar. Sebab itu, keputusan tersebut akan dijaga, untuk tetap kukuh. “Jangan ganggu MUI Sumbar dengan keputusannya yang memang dalam posisi membela agama dan memperjuangkan kebenaran. FPI Sumbar berada di garda terdepan jika ada yang mencoba mengusik MUI Sumbar,” tegas Busra, Minggu (29/7) malam.
Dijelaskan Busra, lebih baik Islam Nusantara jangan masuk ke Sumbar. Keberadaan Islam Nusantara di tengah masyarakat dipandang akan memicu perpecahan. “Pantas kita di Sumbar merapatkan barisan untuk menolak Islam Nusantara. Minangkabau tak perlu Islam Nusantara yang tidak memiliki konsep yang jelas. Islam di sini (Sumbar-red) tenang tanpa adanya perpecahan. Kalau Islam Nusantara masuk, potensi perpecahan itu bisa terjadi. FPI tidak mau itu terjadi,” terang Busra.
Menurut Busra, kalau para perancang konsep Islam Nusantara ingin memadukan Islam dan kearifan lokal, tak perlu ada nama-nama lain untuk mengartikannya. “Islam sejak dulu menghormati dan menghargai kearifan lokal. Tidak ada masalah. Tapi kalau konsepnya digeser menjadi Islam Nusantara, itu jelas salah kaprah,” tutur Busra.
Konsep Islam Nusantara dipandang mengecilkan nama Islam yang sejatinya tanpa embel-embel. Jika maksud Islam Nusantara adalah soal keramahan washatiyah, moderat, toleransi atau pun membaur dengan budaya, tanpa diberi tambahan “Nusantara” pun, Islam sudah menjalankan hal itu sejak lama. “Menambahkan label Nusantara malah mengurangi kesempurnaan Islam. Islam itu milik dunia, bukan Nusantara,” tegas Wakil Ketua Bidang Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumbar, Zulkarnaini.
Dukungan terhadap MUI Sumbar juga datang dari Yayasan Muslim Peduli Mentawai, Ustaz Muhammad Shiddiq Al Minangkabawi. Shiddiq memastikan para ulama bersama MUI Sumbar yangd iketuai Buya Gisrizal Gazahar. Dalam akun facebooknya, Shiddiq menulis bahwa MUI untuk menyelamatkan akidah anak kemenakan masyarakat Minangkabau. “Keputusan MUI Sumbar dikeluarkan untuk kebaikan. Namun anehnya, keputusan MUI Sumbar itu mendapatkan tantangan dari berbagai kalangan termasuk dari MUI Pusat. Kami bersama buya (Ketua MUI Sumbar-red),” tulis Shiddiq.
Dosen Hukum Islam UIN IB Padang itu, MUI Sumbar melihat, ada hal-hal yang bertentangan dengan konsep Islam Nusantara. Terutama dalam hal toleransi. Misalnya, mengajak seorang muslim ikut merayakan natal di Gereja. Lalu, muslim tersebut menolak demi menjaga akidahnya.
“Apakah menolak itu tidak toleransi? MUI Sumbar menduga, gejala-gejala itu yang tampak di konsep Islam nusantara. Makanya, kami sepakat, Ranah Minang tidak membutuhkan label Islam Nusantara,” terangnya seperti yang dikutip dari JawaPos.com.
Zulkarnaini menegaskan, Islam di Ranah Minang sudah lama berproses dengan adat. Makanya falsafat Adat Basandi Syara’, Sayar’ Basandi Kitabullah menjadi landasan orang Minangkabau dalam beragama dan adat. Tentunya, kebiasaan adat yang dipakai, tidak bertentangan dengan syariat Islam. “Tapi, tidak ada istilah Islam Minang,” tegasnya.
Lantas, dengan landasan Islam Nusantara, kelak suatu yang bertentangan dengan agama bisa ditolerir. Misalnya, saat terjadinya kegiatan-kegiatan yang banyak maksiat.
“Lalu, kami protes, apakah itu dinilai tidak toleransi? Harusnya umat tenang-tenang saja?” kata Zulkarnaini.
Terkait perbedaan pendapat antara MUI Pusat dengan Sumbar, menurut Zulkanaini adalah sebuah hal yang wajar dan dibolehkan.
“Misalnya, MUI Pusat menyebut kopi luak itu halal, sedangkan MUI Sumbar tidak. Masa kotoran musang halal. Jadi, tidak harus sama pendapat MUI Pusat dengan daerah,” tutupnya.
Sebelumnya, MUI Sumbar menerbitkan surat pernyataan tertanggal 21 Juli 2018 tentang penolakan Islam Nusantara. Keputusan tersebut lahir setelah para ulama se Sumbar menggelar Rakor bersama di Kota Padang.
Dengan tegas, MUI Sumbar mengatakan, Islam Nusantara tidak dibutuhkan di Ranah Minang. Jika pendekatan kultural yang menjadi ciri khas Islam Nusantara, maka itu bukanlah monopoli Islam Nusantara. Namun, menjadi suatu karakter umum dakwah di berbagai wilayah dunia ini karena sikap Islam terhadap tradisi dan budaya tempatan, telah tertuang dalam kajian ilmu Ushul al-Fiqh secara terang.
Bahkan, para ulama Sumatera Barat dengan perjalanan panjang sejarah dakwah Islam di Ranah Minang yang diwarnai dengan dinamika yang begitu hebat, telah menjalani langkah-langkah pendekatan kultural tersebut bahkan mereka sampai kepada komitmen bersama melahirkan “Sumpah Sati Marapalam” dengan falsafahnya yang dipegang oleh masyarakat Minangkabau sampai hari ini yaitu: Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah, Syara’ Mangato, Adat Mamakai”.
Dikritik utusan presiden
Utusan Khusus Presiden RI untuk Dialog dan Kerja Sama Antaragama dan Peradaban (UKP-DKAAP), Din Syamsuddin meminta agar ulama Sumatera Barat (Sumbat) tidak menolak wawasan keislaman yang dikembangkan Nahdlatul Ulama (NU), yaitu Islam Nusantara. Menurut dia, sebaiknya tidak ada sikap tolak menolak antarumat Islam yang mengembangkan wawasan tertentu.
“Sebaiknya tidak perlu ada penolakan-penolakan seperti itu. Kalau ada kelompok Islam atau Ormas Islam kemudian mengembangkan satu wawasan tertentu seperti NU mengembangkan wawasan atau pikiran Islam Nusantara harus kita hargai,” ujar Din saat ditemui usai konferensi pers terkait acara World Peace Forum (WPF) ke-7di Kantor CDCC, Jakarta.
Din mengatakan, Islam Nusantara merupakan pandangan ulama warga Nahdliyin. Jika tidak setuju tidak perlu melakukan penolakan karena bisa memicu adanya perpecahan antarumat Islam.
“Itulah pandangan NU. Itulah pendapat NU, tidak usahlah yang lain kemudian menolak. Kalau tidak setuju ya sudah silakan, tapi gak usah pakek tolak menolak. Sebab kalau tolak menolak seperti ini nanti semua yang lain akan ada penolakan di sana, penolakan di sini,” jelas Mantan Ketua Umum MUI ini.
Namun, Din meyakini tidak semua ulama Sumbar yang melakukan penolakan terhadap Islam Nusantara. Karena budaya tolak menolak itu bukan lah watak wasathiyah, bukan watak jalan tengah yang sebenarnya diajarkan Islam.
“Watak wasathiyah yang diajarkan oleh Islam itu ya kalau dengan agama lain bagimu agamamu bagiku agamaku. Dan kalau sesama Muslim, ‘bagimu pendapatmu bagiku pendapatku’, tapi kita tepat bersaudara. Jadi mohon, dan saya kira itu tidak bisa diklaim itu seluruh kalangan ulama di Sumatera Barat,” kata Din.
Ketua MUI Sumbar, Buya Gusrizal Gazahar sebelumnya langsung memberikan pernyataan ke publik lewat akun facebook pribadinya. Gusrizal memastikan MUI Sumbar tetap pada sikapnya dalam menolak konsep Islam nusantara “Membiarkan umat bingung dengan pernyataan orang-orang yang mengusung Islam Nusantara sesuai seleranya seperti menuding Islam Arab sebagai Islam radikal, Islam penjajah dan lainnya, berarti mengabaikan tugas keulamaan dalam menjaga kesatuan umat,” ungkap Gusrizal di pembuka tulisannya.
Gusrizal juga menyebut, suatu istilah yang dilahirkan oleh sebagian umat kemudian disebarkan dengan kekuasaan dari meletakkan tugu sampai mengarahkan berbagai institusi, itu jauh sekali dari taswiyyatul manhaj, bahkan mengabaikan bagian umat Islam lain yang belum tentu bisa menerima konsep yang diusung tersebut.
“Ketika kaum sekuler, liberal dan pluralis menjadikan Islam Nusantara sebagai payung tumpangan mereka, itu bukan lagi perkara furu’ yang bisa didiamkan begitu saja,” tulisnya.
Dijelaskannya, ketika sikap diambil, ulama Sumbar bukan hanya membaca dan mendengar paparan konsep sehingga dengan enteng dikatakan salah persepsi. “Kami melihat perkataan, perbuatan dan sikap yang dilakukan di bawah konsep itu jauh melenceng, maka kami memadukan antara pemahaman konsep dengan aplikasi di lapangan, itu lah langkah berpendapat dalam kasus aktual. Kalau tidak demikian, berarti kita membohongi diri sendiri,” lanjut Buya Gusrizal.
“Kami tegak menjaga Ranah Minang tempat kami menghirup udaranya, meneguk airnya sehingga kami merasakan detak nadi kehidupannya. Karena kami yang hidup di tengah masyarakatnya maka kami bertanggungjawab mengatakan bahwa negeri kami tidak membutuhkan istilah Islam Nusantara itu dan juga tambahan apapun di belakang nama Islam, karena kata itu sangat sempurna dalam pandangan kami,” tegasnya.
“Perlu diketahui bahwa dalam menjalankan dakwah dan mengamalkan tradisi, kami sudah memiliki konsep yang menyatukan ormas Islam apapun di Ranah Minang selama ini, yaitu, Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah, Syara’ Mangato Adat Mamakai,” tambah Gusrizal.
“Kami tempatkan falsafah kehidupan itu dalam pengamalan agama kami yang semenjak ulama-ulama tua kami, namanya adalah Islam, tanpa ada tambahan apapun, karena kami tidak mampu menggandengkan apapun dengan nama yang sempurna itu. Sekali kata dikatakan, seribu fikiran menjadi timbangan, pantang bertarik surut ke belakang, kecuali Alquran dan sunnah yang menentang. Ingatlah, penduduk suatu negeri lebih tahu dengan celah-celah kampungnya,” tulis Gusrizal di akhir tulisannya. haluan