Avro Anson Pesawat Terbang Pertama yang Dibeli dari Emas Kaum Ibu Minang

Ternyata Pesawat Avro Anson Dibeli dari Emas Kaum Ibu Minang

Kutipan kalimat Mantan Presiden Amerika Serikat, John F Kennedy sering digunakan untuk menggugah rasa nasionalisme dan bela negara. “Jangan tanya apa yang negara berikan padamu, tapi tanyakan apa yang kau berikan pada bangsamu”. Namun tahukah kamu, jauh sebelum kalimat itu bergema, sesungguhnya masyarakat Minangkabau di Sumatera Barat sudah menerapkan nilai-nilai tersebut. Mereka rela patungan dan menyumbangkan harta bendanya untuk membeli sebuah pesawat terbang pertama untuk bangsa ini yaitu pesawat Avro Anson. Dari pesawat tersebut lahir dua orang pahlawan nasional, Iswahyudi dan Halim Perdanakusumah.

Replika pesawat Avro Anson terlihat jelas di pinggir Jalan Raya Bukittinggi-Medan, tepatnya di kawasan Gaduik, Kecamatan Tilatang Kamang, Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Lokasi tempat monumen pesawat ini berdiri, dahulu adalah salah satu lapangan terbang yang ada di Sumatera Barat.

Seperti dilansir dari Detik.com, menurut Budayawan Minangkabau, Hasril Chaniago, di zaman pergerakan dan kemerdekaan, Sumatera Barat punya tiga lapangan terbang. Yakni, Lapangan terbang Tabing di Padang yang dikuasai Belanda, lalu Lapangan terbang Gaduik dan lapangan Piobang di kabupaten 50 kota. “Dari Gadut, Bung Hatta pernah terbang berangkat ke India, memenuhi undangan Nehru (Perdana Menteri India),” kata Hasril

Mungkin banyak yang luput memperhatikan tentang pesawat Avro Anson yang memiliki sejarah penting dalam perjalanan bangsa Indonesia. Terutama tentang nasionalisme dan semangat bela negara dimana pesawat Avro Anson dibeli dengan menggunakan emas milik amai-amai (sebutan kaum ibu) di Minangkabau.

“Pembelian Avro Anson adalah bentuk belanegara sesungguhnya, bagaimana masyarakat menyumbang untuk negaranya. 15 tahun sebelum Kennedy menyampaikan pidato tentang bela negara, jangan tanya apa yang diberikan negara kepadamu, tapi tanyalah apa yang kamu berikan kepada negara, masyarakat Minang sudah melakukan itu,” katanya.

Menurut Hasril, Avro Anson berawal dari keinginan Wakil Presiden Bung Hatta yang pernah berkantor di Bukittinggi, agar negara punya pesawat terbang. Dalam sejarahnya, Bung Hatta pernah berkantor di Bukittinggi untuk mempersiapkan Sumatera sebagai wilayah alternatif (jika Yogya jatuh) pada periode Juni 1947 sampai Februari 1948.

Saat itu, Bung Hatta berkantor di Istana Bung Hatta yang lokasinya berada persis di depan Jam Gadang. Dulu, Istana Bung Hatta Bernama Rumah Tamu Agung atau Wisma Negara.

Keinginan untuk punya pesawat, adalah mimpi besar yang sulit terwujud saat itu, karena Indonesia tidak punya cadangan devisa yang cukup di masa-masa tersebut. Maka muncullah ide untuk menggugah kaum ibu yang terbiasa mengumpulkan emas. Muncul pemikiran dari Bung Hatta untuk membeli pesawat.

“Bung Hatta tahu orang Minang punya kebiasaan menabung emas dari dulu. Pada bulan September dibentuk panitia pengumpulan emas untuk membeli kapal terbang. ketuanya ditunjuk Mister Abdul Karim, Direktur Bank Negara. Dilengkapi dengan tooh-tokoh lainhya, seperti Khatib Sulaiman, Buya Hamka dan lain-lain. Kemudian digelar pertemuan dan disampaiklan bahwa Republik butuh pesawat, tapi kita tak punya uang,” cerita Hasril.

“Maka disentuhlah ibu-ibu, karena ibu-ibu yang nyimpan emas. Tradisi masyarakat Minangkabau sejak dulu. Nah, pada 17 september 1947, terkumpulh 14 kilo emas yang banyaknya sekitar satu kaleng roti biskuit. Emas ini kemudian dilebur jadi emas padu. maka dicari lah pesawat yang bisa dibeli,” katanya lagi.

Pesawat akhirnya di dapat, yakni pesawat jenis Avro Anson milik Paul Keegan, seorang bekas pilot Inggirs berkebangsaan Australia. Awal Desember 1947, pesawat diantar langsung oleh Keegan ke Bukittinggi.

Hanya saja, Keegan minta agar pembayaran dilakukan di Singapura atau di luar negeri. Shongkla di Thailand Selatan menjadi pilihan, karena Keegan tidak bisa masuk kembali ke Singapura. Dari Bukittinggi, pesawat diterbangkan ke Shongkla untuk mengantar Keegan.

Untuk menerbangkan pesawat tersebut, di datangkanlah Iswahyudi sebagai pilot dan Halim Perdanakusumah sebagai navigator.

Pesawat berangkat menuju Shongkla pada 10 Desember 1947. Selain mengantar Keegan, mereka mendapat tugas pula untuk mengadakan kontak dengan pedagang-pedagang setempat. Setelah menyelesaikan misi, pesawat kembali ke tanah air pada 14 Desember 1947.

Dalam perjalanan kembali inilah, tiba-tiba di daerah Perak Malaysia, tepatnya di Tanjung Hantu, pesawat terjebak cuaca buruk dan pesawat jatuh. Iswahyudi dan Halim Perdanakusumah diketahui meninggal akibat insiden tersebut. Jenazah Halim Perdanakusumah ditemukan nelayan setempat, sedangkan Iswahyudi tak ditemukan sama sekali.

“Walaupun tak jadi dimanfaatkan untuk perjuangan, namun (pesawat) itu adalah sumbangan besar masyarakat Minangkabau untuk Republik, yang pada akhirnya melahirkan dua pahlawan nasional, Iswahyudi dan Halim Perdanakusumah,” jelas Hasril.

Selama ini, yang umum diketahui pesawat pertama Indonesia adalah Seulawah dari Banda Aceh. Padahal kata Hasril lagi, sesungguhnya Avro Anson lah yang lebih awal, karena sudah ada di tahun 1947.

Lalu kenapa Avro Anson berkode RI-003, bukan RI-001?. “Itu kan soal penomoran saja, karena mungkin belakangan baru diketahui kalau Avro Anson sudah ada sebelum Seulawah. Setahu saya, AURI sudah mengoreksi hal ini,” katanya lagi.

Apapun itu, Avro Anson ada sebagai bentuk kecintaan dan wujud bela negara sesungguhnya dari masyarakat.

Related Posts

Leave a Reply