Tak banyak yang mengetahui kalau Lemang yang kerap dikenal sebagai ikon kuliner Tebing tinggi itu, ternyata berasal dari ranah Minangkabau, Sumatera Barat. Bagaimana awal cerita kenapa lemang ini sampai ke Tebing tinggi?
Seperti dilansir dari tvOnenews.com, satu di antara Pedagang Lemang di kota Tebingtinggi Gita menuturkan, ia mendapatkan cerita asal mulanya lemang ini dari neneknya. “Kalau cerita dari nenek saya, makanan lemang yang dikenal khas Tebingtinggi ini, mulanya berasal dari Minangkabau, Sumatera Barat (Sumbar),” ujarnya
Menurut cerita yang didapatkan Gita, pada zaman dahulu leluhur para pedagang Lemang di Tebingtinggi berasal dari ranah Minangkabau, yakni Kota Pariaman. “Jadi, mereka (leluhur) merantau dari Minangkabau ke Tebingtinggi, lalu berdagang lemang di Jalan Tjong A Fie dengan menggunakan meja sebagai tempat pajangan lemangnya,” ucapnya.
Lebih lanjut ia mengatakan, kuliner Tebing Tinggi yang berbahan dasar ketan tersebut, sudah menjadi kuliner populer di Tebingtinggi sejak tahun 1950-an hingga saat ini. Meskipun, saat ini roti kacang sebagai pesaingnya.
“Saat ini Lemang masih eksis, karena Lemang masih menjadi menu andalan bila saat lebaran Idul Fitri dan Natal hingga hari-hari besar lainnya. Bahkan, masih menjadi makanan andalan sebagai buah tangan atau oleh-oleh bagi turis lokal,” ujarnya.
Kemudian, ia juga membeberkan, bahwa para pembeli Lemang, biasanya suka menyantap Lemang dengan keadaan hangat serta dilumuri srikaya, tape dan durian. Selain itu, ia katakan, Lemang juga sering disantap di pagi hari sebagai menu sarapan atau cemilan.
“Jadi, biasanya Lemang ini juga sebagi menu sarapan atau cemilan dan Lemang ini juga sebagai temannya ngopi saat pagi atau sore hari,” ujarnya.
Selanjutnya, untuk harga Lemang, ia katakan, harganya bervarian. Mulai dari harga Rp20 ribu untuk yang kecil, hingga Rp50 ribuan untuk ukuran jumbo atau besar. Namun, harga tersebut diluar dari harga srikaya dan Tape. “Kalau harga srikaya dan tape, harga perbungkusnya Rp10 ribu,” tuturnya.
Selain itu, ia meginformasikan, bahwa pedagang Lemang yang legendaris terdapat di Jalan KH Ahmad Dahlan, tepatnya di depan Masjid Raya Kota Tebingtinggi. “Dahulu nama jalan untuk tempat pedagang Lemang itu, namanya Jalan Tjong A Fie. Sekarang nama jalannya diganti menjadi Jalan KH Ahmad Dahlan,” pungkasnya.
Kemudian, untuk jam operasional pedagang Lemang tersebut, ia ungkapkan, para pedagang mulai berdagang Lemang dari pukul 12.00 WIB hingga pukul 01.00 WIB, pagi dini hari.
“Kami memang sengaja lama tutup, karena semakin hari, semakin sepi pembelinya dan sudah tidak ramai lagi seperti dahulu, ketika kami berdagang Lemang dengan orang tua kami. Mudah-mudahan setelah Covid-19 ini, pembeli semakin ramai,” ucapnya.
Sejarah Kota Tebing Tinggi
Kota Tebing Tinggi merupakan salah satu Kota dari 33 kabupaten dan kota di Sumatera Utara dan berjarak sekitar 80 km dari Kota Medan. Tebing Tinggi dulunya adalah daerah kekuasaan dan pemerintahan Kerajaan Padang di sekitar awal abad ke17 yang di dirikan oleh Umar Baginda Saleh. Konon penamaan kerajaan ini karena wilayah kekuasaan berupa padang yang luas sehingga dinamakan Kerajaan Padang.
Secara historis, pertumbuhan Kota Tebing Tinggi sangat banyak ditunjang oleh munculnya perkebunan-perkebunan besar di sekitaran Tebing Tinggi tahun 1864 oleh orang-orang Eropa menjadi daya tarik yang luar biasa bagi kaum pendatang untuk mengadu nasib atau mencari kesempatan kerja dengan harapan merubah keadaan ekonomi.
Akibatnya berbagai macam kelompok etnik di antaranya seperti; etnis Cina, Tamil, Jawa, Minangkabau dan Batak Toba menjadi penghuni Kota Tebing Tinggi bersama-sama dengan etnik asli orang Melayu. Kedatangan para pendatang ini terus menerus meningkat, mereka semakin berkembang yang kemudian memegang peranan pada sektor-sektor tertentu terutama pada sektor ekonomi.
Setelah kemerdekaan Indonesia tepatnya pada tahun 1950, etnis Cina menguasai sektor pedagangan yang berpusat di jalan Bedagai, Patriot dan Veteran (areal ini dikenal dengan Chinatown), mereka banyak menjual barang industri atau mentah, pedagang keliling dan pengumpul bahan bekas2 sedangkan etnis Jawa banyak berada disektor perkebunan dan etnis Batak pada umumnya merupakan wiraswasta atau membuka usaha seperti berdagang.
Begitu juga dengan etnis Minangkabau, walaupun migrasi Minangkabau ke Tebing Tinggi karena munculnya industri perkebunan ini namun sebenarnya orang Minangkabau ke sana bukanlah untuk menjadi buruh perkebunan tetapi untuk berdagang atau bisnis.