Sumatra Barat menjadi salah satu wilayah yang menjadi basis pengembangan Islam di nusantara. Dalam pertumbuhanya muncul sejumlah tokoh dan ulama besar yang telah berjasa tak hanya dalam membangun pondasi demi tegaknya syiar agama namun juga membina kesejahteraan masyarakat sekitar.
Salah satunya adalah ulama bernama Syekh Haji Daud Rasyidi turut mewarnai perjalanan sejarah Islam, khususnya di ranah Minangkabau. Dia gigih bergelut di bidang pendidikan serta dakwah agama. Kendati demikian, pada masa perjuangan fisik, Haji Daud pun aktif berjuang menentang penjajah dengan apa yang bisa dilakukannya.
Ditahun 1880 tercatat sebagai tahun kelahiran Daud Rasyidi. Dia berasal dari keluarga sederhana yang menetap di desa Belangka, kecamatan Koto, kabupaten Agam, Sumbar. Keluarga ini begitu taat beragama. Ayahnya yang bernama Rasyidi dikenal sebagai seorang ulama dan pemuka adat. Sementara ibundanya yakni Nanti, merupakan wanita yang sholehah.
Dengan pondasi pendidikan agama sudah didapatkan Daud Rasyidi sedari kecil. Kedua orangtuanya secara tekun mengajarkan membaca mengaji Alquran dan dasar-dasar agama setiap ba’da Maghrib. Hingga beberapa tahun setelah menyelesaikan pendidikan dasarnya itu, bersama salah satu kakaknya, H Abdul Latif, Daud pergi ke Muara Labuh guna melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya.
Di bawah bimbingan Syeikh Mustapha Sungai Pagu, bidang ilmu nahwu, sharaf, fikih dan Alquran menjadi fokus utamanya. Saat itu usia Daud Rasyidi baru sekitar tujuh tahun. Secara tidak langsung, hal ini sekaligus menunjukkan bahwa Daud Rasyid sudah menunjukkan bakat dan kecerdasannya sejak dini.
Daud memang tidak pernah mengenyam pendidikan formal sehingga tidak punya ijazah. Tetapi baginya, itu bukanlah ukuran dari ilmu yang dimilikinya. Kemampuan seseorang bukan tergantung dari sekedar ijazah melainkan bagaimana orang tersebut sanggup memanfaatkan pengetahuan dan ilmunya bagi kemaslahatan masyarakat.
Dia tercatat sebagai tokoh yang selalu ingin menambah ilmunya. Selepas belajar di Muara Labuh, Daud berkelana ke sejumlah tempat untuk mencari guru agama. Di kota Padang misalnya, ia berguru kepada Syeikh Muhammad Thaib Singkarak dan H.Zabidi. Guna menyambung hidup, Daud membuka praktek menjahit di siang hari.
Kota Padang Panjang adalah tujuan berikutnya. Tahun 1903 ia sampai di kota itu. Kali ini niatnya adalah untuk mengabdikan ilmu-ilmu yang sudah diperolehnya. Beruntung, Daud mendapat anjuran dari kakaknya H Abdul Latif mengajar di surau Jembatan Besi kepunyaan H Abdullah Ahmad. Jadilah Daud ustaz di situ.
Saat mengajar, Daud amat menekankan kedisiplinan kepada murid-muridnya. Inilah yang membuat surau Jembatan Besi kian maju dari waktu ke waktu. Jumlah muridnya terus bertambah. Mereka tak hanya berasal dari Padang Panjang, tapi juga dari wilayah-wilayah lain di Sumbar. Sejarah mencatat, surau ini kemudian menjadi ‘Sumatera Thawalib’ yang banyak melahirkan ulama terkemuka dan pemimpin perjuangan nasional.
Ditahun 1906, Daud kembali berkelana. Kali ini ia ke Maninjau dan belajar kepada Syeikh Dr Abdul Karim Abdullah yang biasa dipanggil Inyiak Rasul. Syeikh ini baru kembali dari Makkah yang lantas menjadi ulama besar di Sumbar dan mengajarkan ilmunya pada ulama-ulama muda Minangkabau termasuk Buya Hamka, yang tak lain adalah anak kandungnya sendiri.
Namun dua tahun menimba ilmu di Maninjau, timbul dibenak Daud keinginan belajar agama ke sumbernya langsung yakni ke Makkah. Beliau terpaksa berhenti mengajar di Jembatan Besi dan menuju tanah suci. Adapun tugas mengajar kembali dipegang oleh kakaknya.
Setiba di Makkah, bersama anak kakaknya yakni Mukhtar Luthfi, dia langsung menemui seorang guru besar asal Minangkabau, Syeikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi. Empat tahun lamanya, Daud Rasyidi menuntut ilmu tasawuf, fikih, tauhid, bahasa Arab dan sebagainya.
Pada suatu pagi, Daud Rasyidi menerima berita duka dari tanah air tentang meninggalnya sang kakak yang telah banyak berjasa kepadanya. Terbayang olehnya kesedihan murid-murid surau Jembatan Besi kendati pimpinan surau sudah dipercayakan kepada H Abdul Karim Amrullah.
Hal ini makin memicu semangatnya untuk segera menyelesaikan pendidikan di Makkah. Tak lama, beliau berhasil mendapat selembar ijazah yang diserahkan langsung oleh gurunya sebagai tanda penghargaan terhadap kemampuan ilmu yang dimiliki. Setelah itu, tanpa menunggu terlalu lama, Daud Rasyidi segera kembali ke Minangkabau.
Masyarakat memang sudah menantikan hadirnya seorang ulama sebagai pembimbing ruhani. Oleh karena itu, banyak kalangan meminta beliau agar menetap di kampung halaman dan mengajarkan ilmu agama yang sudah diperoleh selama ini. Masyarakat lantas membuatkan sebuah surau dan menjadikan Daud Rasyidi sebagai guru tetap pada tahun 1913.
Dalam menerapkan pengajaran, Inyiak Daud — julukannya kemudian — terlebih dulu memperlihatkan sifat yang patut diteladani. Dia memakai ilmu padi, makin berisi makin tunduk. Menghormati masyarakat lebih dulu, memahami adat istiadat kampung. Ini sesuai dengan prinsip hidup orang Minangkabau, kalau mengajak orang berbudi mulia, terlebih dahulu kita harus berbudi luhur dan terpuji sehingga tegak wibawa kepemimpinan. Berkat keteguhan hatinya ini maka surau tersebut makin dikenal masyarakat luas.
Tahun 1916 terjadi bencana alam di wilayah itu. Surau tempat Inyiak Daud mengajar juga hanyut terkena banjir besar dan menimbulkan korban jiwa. Setelah musibah ini, beliau melepas para muridnya untuk belajar kepada sahabatnya yang baru datang dari Makkah yakni Syeikh Ibrahum Musa Parabek. Sedangkan Inyiak Daud pergi ke Malaysia sekedar untuk menghibur hati dan menambah wawasan.
Kembali dari Malaysia, Inyiak Daud memutuskan tidak lagi mengajar di surau melainkan terjun langsung ke tengah masyarakat untuk berdakwah menyebarluaskan syiar agama Islam. Dia berdakwah ke berbagai wilayah, dari masjid ke masjid, kampung ke kampung. Dalam berdakwah, seolah tidak pernah terasakan lelah dan pamrih. Niatnya hanya satu yaitu demi mencapai keridaan Allah SWT. Lillahi ta’ala.
Pada waktu itu pula bangsa Indonesia tengah berjuang melawan penjajah. Daud Rasyidi yang sangat menjunjung silaturahmi dan ukhuwah islamiyah, tentu gusar ketika melihat orang-orang yang mudah terpancing siasat adu domba kaum kolonial.
Oleh karenanya, Inyiak Daud berusaha sekuat tenaga menghimpun para alim ulama dan pemimpin Islam untuk mengadakan satu sidang di kota Padang. Tujuannya adalah menyatukan pendapat dalam menentang ordonansi Sekolah Liar Belanda tahun 1932. Selain itu, dia juga berupaya mendorong gerakan organisasi Islam Muhammadiyah agar selalu aktif membina perguruan Islam dan lembaga dakwah.
Saat menghadapi penjajahan Jepang, terlihat kekerasan dan keberanian Daud Rasyidi. Tahun 1946, sewaktu Wakil Presiden Muhammad Hatta berada di Bukittinggi dalam pembentukan Panitia Pengumpulan Mas untuk membeli pesawat terbang sebagai sarana perjuangan rakyat, dia pernah menyelusup di tengah hujan peluru saat pecah pertempuran di Pasar Usang dan Indarung untuk mengantarkan perbekalan para pejuang.
Ulama kharismatik ini berpulang ke rahmatullah pada hari Senin 26 Januari 1948 ketika tengah menjadi imam shalat Maghrib di surau Inyiak Jambek, Bukitinggi. Ulama dan pejuang ini dimakamkan di samping makam Syeikh Muhammad Jamil Jambek di kota tersebut.
Sumber Artikel dan photo : REPUBLIKA.CO.ID