SARIBUNDO.BIZ – Pernikahan dalam adat Minangkabau meruakan peristiwa sakral yang mempunyai aturan, baik dalam undang-undang pemerintahan, agama, dan adat istiadat. Pernikahan juga merupakan penyesuaian karakter dan kebiasaan (adat) dua keluarga besar.
Suatu kekhawatiran ninik mamak di Minangkabau saat ini yaitu sudah banyaknya laki-laki Minangkabau menikah dengan perempuan non-Minangkabau. Hal lumrah ini terjadi karena pengaruh merantau yang juga menjadi kebiasaan anak Minangkabau sejak dahulu.
Pernikahan beda suku tidak ada larangan dalam agama. Tetapi pernikahan beda suku antara Minang dengan non-Minang akan mendatangkan efek pengaburan garis keturunan. Hal ini terjadi jika laki-laki Minang menikah dengan perempuan non Minang.
Kekhawatiran anak lahir tanpa suku ini dialami oleh Arya yang merupakan warga Padangpanjang yang menikahi perempuan dari tanah Jawa yang tinggal di Pesisir Selatan. Namun dengan memilih pergi merantau hal ini bukan lagi jadi penghalang.
“Kami khawatir jika nanti pulang ke kampung, anak kami akan diperlakukan dengan baik atau tidak secara adat. Namun untuk saat ini, kami tidak terlalu mengkhawatirkan hal tersebut, karena berada di daerah perantauan di Mentawai. Selain itu, hal ini sudah dianggap biasa oleh masyarakat jadi tidak terlalu diperbincangkan lagi,” terang Destri.
Terkait dampak pengaburan garis keturunan, Destri tidak terlalu mempersoalkan hal itu. Keluarga besarnya yang sudah lama merantau, begitu juga dengan keluarga suami yang banyak merantau, sudah biasa dengan model perkawinan ini.
“Asal kita saling mengetahui siapa saja keluarga besar, itu sudah jadi modal. Anak-anak pun akan mengetahui juga nanti,” tambah Arya.
Ketua Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) Kabupaten Agam Yul Arnis Dt Maleka Nan Tinggi saat mengatakan, perempuan Minang yang menikah dengan laki-laki non Minang tidak ada masalah, karena suku berdasarkan garis keturunan ibu (matrilineal).
Sebagai daerah yang menganut garis keturunan dari garis ibu (matrilineal), pernikahan laki-laki Minangkabau dengan perempuan luar suku di Minangkabau menjadi salah satu polemik yang terjadi saat ini, karena anak hasil perkawinan tersebut tidak mempunyai suku dari pihak ayah (laki-laki Minangkabau) maupun dari pihak ibu (non-Minangkabau).
“Suku bagi seorang anak di Minangkabau merupakan suatu hal yang tidak dapat ditawar,” tegasnya. Di Minangkabau, sambung Dt Maleka Nan Tinggi, apabila terjadi perceraian, anak ikut dengan ibunya. Selain diasuh oleh ibu, anak juga menjadi tanggung jawab mamaknya (saudara laki-laki ibu). Sedangkan di luar Minang, ketika terjadi perceraian, anak ikut dengan ayahnya.
Anak dari laki-laki Minang tetap diakui oleh kaumnya, tetapi anak tersebut tidak berhak atas gelar sako dan pusako. Termasuk dalam menyelesaikan permasalahan adat, apabila terjadi kepada anak tersebut, ninik mamak sulit menyelesaikan secara adat.
Senada dengan hal tersebut Ketua LKAAM Kabupaten Padang Pariaman Jaswirudin Rangkayo Bando Mudo mengatakan, jika hal ini sudah terjadi, berarti pemahaman terhadap anak Minangkabau harus diperkuat. (Baca Juga: Kisah Datuak Kayo dari Solok Selatan yang Masih Muda)
Mengajarkan kembali pelajaran Budaya Alam Minangkabau (BAM) di kurikulum pendidikan di Sumatera Barat merupakan salah satu cara memperkuat pemahaman anak Minangkabau. Termasuk menggalakkan kegiatan-kegiatan adat, seperti belajar pasambahan dan wirid tentang adat kepada masyarakat.
“Sehingga, anak dan kemenakan akan mengetahui efek yang terjadi jika anak dan kemenakan melakukan suatu tindakan yang bertentangan dengan adat,” katanya. seperti dikutip harianhaluan.com