BANGSA MELAYU DIDATARAN TINGGI MINANG
Daerah Pariaman merupakan kawasan pesisir pantai jauh sebelum kedatangan bangsa bangsa Indochina dipimpin oleh Dapunta Hyang telah dihuni oleh bangsa Gujarat, Malabar dan Srilanka dan jauh sebelumnya telah ada ras Negrito dan Austronesia yang mendiami kawasan tersebut. Ekspansi yang dipimpin oleh Dapunta Hyang bergerak dari daerah Minangatamwan yang berada dimuara sungai kampar kanan dan sungai kampar kiri menuju dataran tinggi sumatera barat, untuk seterusnya bergerak dan akhirnya menetap di Palembang mendirikan kerajaan Sriwijaya.
Kedatangan bangsa Indochina dibawah pimpinan Dapunta Hyang dianggap oleh para sejarawan sebagai migrasi kedua dari bangsa yang mendiami kawasan Asia selatan. Ada juga yang berpendapat bahwa migrasi pertama yang berasal dari Asia selatan, mereka berasal dari daerah yang bernama Dongson berkebudayaan perunggu dan mendiami daerah pegunungan Asia selatan. Sedangkan yang datang dan bergerak dari daerah Minangatamwan menuju dataran tinggi Sumatera Barat tidaklah dapat dikatakan sebagai migrasi penduduk. Lebih tepat dikatakan ekspansi bangsa Indocina yang bisa saja berasal dari Kamboja atau Champa. (Prasasti Kedudukan Bukit, 684 M)
Migrasi bangsa Indochina yang berasal dari pengunungan Dongson kawasan Asia Selatan adalah migrasi pertama yang berlangsung berabad-abad sehingga terjadi asimilasi dengan ras Negrito dan Austronesia kemudian melahirkan kebudayaan Neolitich.
Kedatangan bangsa Indochina melalui jalan ekspansi merupakan migrasi kedua yang dipimpin oleh Dapunta Hyang berhasil menaklukkan dataran tinggi Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu dan mendirikan Kerajaan Sriwijaya kemudian menyerang kerajaan Taruma Negara yang beragama Hindu di Pulau Jawa (Prasasti Talang Tuo, 685 M).
Oleh sejarawan, kedatangan bangsa Indochina, baik yang datang secara berimigrasi maupun yang datang melalui ekspansi sebagai nenek moyang bangsa Melayu dan nenek moyang bangsa Minangkabau.
Dapunta Hyang atau Sri Jayanasa mendirikan kerajaan Sriwijaya dan dinasty (wangsa) Syailendra sebagai penguasa kerajaan beragama Budha aliran Hinayana terkuat dan terbesar di Nusantara. Kemudian Adityawarman mendirikan kerajaan Malayupura (tulisan dibelakang Arca Amoghapasa, Prasasti Kuburajo, dan Prasasti Batusangkar) dan memindahkan pusat kerajaan tersebut di pedalaman Sumatera Barat. Pada tahun 1347 M kerajaan ini akhirnya lebih dikenal dengan Kerajaan Pagaruyung.
Adityawarman sendiri merupakan keturunan Raja Majapahit hasil perkawinan dengan Dara Jingga, Putri dari Kerajaan Dharmasraya. Adityawarman beragama Hindu dan Bidha (Sinkrentis). Sampai pada pertengahan Abad XIV kerajaan Pagaruyung masih beragama Budha yang dipadukan dengan Hindu.
Belum ada satu manuskrip yang menyatakan Islam sudah ada di dataran tinggi (Pedalaman) Sumatera Barat pada masa tersebut. Sekitar tahun 1513 barulah ada raja Pagaruyung yang memeluk Agama Islam, sebutan Raja berubah menjadi Sultan. Sultan pertama pagaruyung adalah Sultan Ahmadsyah dan Sultan pertama tersebut jelas bukanlah merupakan keturunan dari Aditywarman.
BANGSA ARAB DI PARIAMAN
Situasi yang sangat berbeda bila dibandingkan dengan daerah pesisir pantai, Pariaman merupakan kawasan pesisir pantai dihuni oleh orang Gujarat dan Malabar yang berasal dari India. Pariaman atau dalam Hikayat Raja-raja Pasai disebut dengan Faryaman pada saat masuknya Dapunta Hyang ke dataran tinggi (pedalaman) Sumatera Barat, disini sudah mengakar kuat agama Hindu. Masyarakat Hindu membagi manusia dalam empat tingkatan struktur sosial atau yang lebih dikenal dengan Kasta.
Kasta Brahmana dikenal sebagai struktur masyarakat tertinggi, mereka adalah kaum pendeta. Kasta ini sangat menjaga kesopanan, etika dan moralitas yang tinggi dan umumnya mereka menjadi penasehat raja. Kasta Ksatria merupakan struktur masyarakat Hindu ditingkatan kedua, mereka adalah kaum bangsawan dan pembesar kerajaan umumnya mereka juga sangat menjaga kesopanan, etika dan moralitas. Kasta waisya merupakan struktur masyarakat Hindu ditingkatan ketiga, mereka adalah kaum pedagang dan pengusaha. Kasta Sudra dikenal juga sebagai orang paria, mereka adalah para pekerja kasar, tukang dan mengabdi pada kasta yang berada diatasnya, mereka tidak menjaga kesopanan dan punya moralitas yang sangat rendah.
Pada awal abad VII M seorang pendeta Budha (I Tsing) yang belajar dan menetap beberapa tahun di Kerajaan Sriwijaya menulis dalam catatan perjalanannya bahwa ada sekelompok masyarakat Arab beragama Islam yang mendiami pesisir pantai barat Sumatera. Masyarakat Arab yang pertama minginjakkan kaki dipantai barat Sumatera ini bisa saja berasal dari Hijaz kemudian melakukan perjalanan kewilayah India kemudian melakukan perjalanan dengan kapal dan sampailah mereka dipelabuhan Tiku dan menetap di daerah tersebut. Rombongan ini merupakan migrasi pertama dari dari turunan Imam Hasan dan Bani Ghasan.
Terjadinya pembantaian terhadap Bani Ghasan disebabkan Bani Ghasan tidak mengakui kekhalifahan Abu bakar oleh sebab itu mereka tidak mau membayar zakat. Ketidakmauan Bani Ghasan membayar zakat menjadi alat pembenaran oleh khalifah Abu Bakar untuk membantai Bani Ghasan, sehingga yang selamat melarikan diri ke Hijaz.
Pada tahun 680 M Imam Husain (cucu Nabi Muhammad SAW) syahid di Karbala dibantai oleh pasukan Yazid. Sebelumnya Imam Hasan berhadapan dengan Muawiyah bin Abi Sofyan dan dengan kelicikan berhasil membunuh Imam Hasan dengan cara meracuni melalui isteri Imam Hasan yang bernama Jad’ah. Beberapa Anak Imam Hasan bergabung dengan Bani Ghasan yang sudah lebih dahulu ada di Hijaz.
Anak keturunan Imam Hasan dan Imam Husein serta para pengikut setia mereka pasca pembantaian di Padang Karbala menyembunyikan diri di Hijaz dan kawasan sekitarnya. Kejaran dari serdadu Yazid memaksa mereka meninggalkan kampung halaman untuk menyelamatkan diri dengan mencari daerah yang jauh dan aman hal ini terjadi dipenghujung abad VI M. Sebahagian besar turunan Imam Husein Migrasi kewilayah Hadramaut kemudian menyebar kekawasan Asia tenggara dan pada pertengahan Abad ke IX salah satu turunan Imam Husein di rajakan di Peurelak. Ini merupakan migrasi kedua dari turunan Imam Hasan dan Imam Husein di Nusantara.
Kedatangan bangsa Arab diawal abad VII melalui Bandar Tiku diabadikan didalam cerita rakyat ditanah Minang (Ba Khaba). Kemudian bangsa Arab ini membuka perkampungan tidak jauh dari Bandar Tiku dan kampung tersebut sampai saat ini bernama Ghasan. Kemudian terjadi asimilasi dan akultrasi budaya Hindu dan Islam.
Diceritakan mendaratnya Sidi Nan Sabatang di Bandar Tiku beserta rombongan, Sidi Nan Sabatang tersebut membawa seluruh keluarganya. Isteri dan para pembantu serta para pengawal. Sidi Nan Sabatang tersebut punya sembilan anak laki-laki dan mereka lebih dikenal dengan sebutan Sidi Nan Sambilan. Sedangkan berapa jumlah anak perempuan Sidi Nan Sabatang tidak ada kabar beritanya, namun diceritakan anak perempuan Sidi Nan Sabatang tersebut dikawinkan dengan Raja Hindu yang sudah memeluk Agama Islam dan anak dari hasil perkawinan tersebut bergelar Bagindo.
Namun sampai saat ini tidaklah diketahui secara pasti Sidi Nan Sabatang tersebut berasal dari fam (keluarga) mana, bila ditelisik dari lintasan sejarah tentang tekanan yang dialami oleh turunan Imam Hasan dan Imam Husein serta jalur migrasi mereka maka besar kemungkinan turunan Imam Hasan lah yang mendarat di Tiku dan menyebar dikawasan Pariaman dan sekitarnya. Turunan Imam Hasan yang sampai di Tiku Pariaman berasal dari satu orang yaitu Sidi Nan Sabatang, kemudian mempunyai anak laki-laki yang disebut dengan Sidi Nan Sambilan, dari Sidi Nan Sambilan berkembanglah turunan Sidi selama 1300 tahun di Pariaman, mereka berkembang seperti butiran hujan yang turun ke bumi, bagaikan butiran pasir yang ada ditepian pantai.
Gelar Sidi
TERPUTUSNYA NASAB SYAID PARIAMAN
Setelah terjadinya Islamisasi secara damai maka berubahlah struktur masyarakat Hindu Pariaman. Kasta berubah menjadi gala atau gelar. Brahmana menjadi Sidi dan mereka adalah pemuka agama Islam banyak diantara mereka menjadi Tuanku (panggilan Ulama Minang). Ksatria menjadi Bagindo dahulunya mereka adalah para pembesar kerajaan dan merupakan kaum bangsawan. Waisya menjadi Sutan, mereka adalah kaum pedagang dan pengusaha, gelar ini biasanya juga diberikan atau dihadiahkan kepada orang asing yang dihormati. Sudra atau Paria menjadi Marah ini merupakan struktur paling rendah dalam masyarakat Pariaman sampai saat ini. Orang yang bergelar Marah tak boleh dipanggil Rajo (Ajo), mereka biasanya dipanggil Uda seperti orang Minang yang mendiami dataran tinggi (pedalaman) Minang.
Gelar atau gala diwarisi secara turun temurun dari pihak ayah, sedangkan kekerabatan dari diwariskan dari pihak ibu (Matrilineal). Bila ayah seseorang begelar Sidi maka si anak juga bergelar Sidi (gala ndak dapek diasak), dan bila ibunya bersuku Chaniago maka si anak bersuku Chaniago. Mungkin hal ini menjadi salah satu penyebab para Sidi di Pariaman tidak mengetahui fam mereka, karena dibelakang nama mereka tidak dicantumkan fam seperti turunan Imam Husein yang datang dari Hadramaut ke Nusantara. Mereka biasanya mencantumkan suku dari ibu dibelakang nama sedangkan gelar didepan nama.
Seorang yang bergelar Sidi (singkatan dari Syaidi) haruslah mencantumkan gelar Siti (singkatan dari Syaidati) didepan nama anak perempuannya. Tak ada orang Pariaman yang berani mencantumkan gelar Siti didepan nama anak perempuannya kalau mereka bukan bergelar Sidi. Kalau di tanah Melayu anak perempuan dari turunan Said didepan namanya dicantumkan gelar Syarifah. Inilah kebiasaan yang berlangsung selama ribuan tahun, dan saat ini sudah jarang seorang perempuan dari turunan Sidi memakai gelar Siti.
Seorang yang bergelar Bagindo merupakan turunan pertama dari anak perempuan Sidi Nan Sabatang yang menikah dengan raja Hindu yang sudah memeluk agama islam. Anak laki-laki yang lahir dari perkawinan tersebut diberi gelar Bagindo dan untuk seterusnya gelar tersebut diwariskan kepada anak Laki-laki, sedangkan anak perempuan memakai gelar Puti. Pemakaian gelar Puti pada anak perempuan yang ayahnya bergelar Bagindo saat ini sudah hampir hilang atau hilang sama sekali.
Pemakaian gelar Siti untuk anak perempuan dari turunan Sidi maupun pemakaian gelar Puti untuk anak perempuan dari turunan Bagindo saat ini sudah hilang. Pemakaian gelar tersebut bukan saja untuk menguatkan identitas tapi lebih pada penjagaan diri si anak tersebut. Seorang Sidi kalau bertemu perempuan Pariaman yang bergelar Siti maka dia akan memperlakukannya dengan penuh hormat dan menganggapnya sebagai saudara kandung, demikian juga perlakuan yang diberikan kepada perempuan Pariaman yang bergelar Puti. Bila Sutan atau Marah bertemu perempuan Pariaman yang bergelar Siti atau Puti mereka akan menghormatinya dan tidak berani bersikap lancang. Penghormatan ini diberikan karena keduanya merupakan turunan dari Sidi Nan Sabatang yang merupakan zuryat (keturunan) Rasulullah Muhammad SAW.
Menurut Hamka turunan Rasulullah yang ada di Pariaman bergelar Sidi (Dari Perbendaharaan lama dan Panji Masyarakat) mereka bisa dikenali dari ciri-ciri fisiknya, berwajah arab atau berwajah oriental. Dari cerita rakyat (khaba) Pariaman, Sidi Nan Sabatang beristri seorang perempuan China.
SIDI BANGSA YANG DIRAJAKAN
Dalam adat istiadat masyarakat Pariaman Gala Pusako dari Ayah berbeda dengan orang Minang yang berasal dari dataran tinggi (pedalaman) Gala merupakan pusako dari Mamak ke kemenakan (dari paman ke kemenakan). Sewaktu orang-orang dari dataran tinggi menjadikan daerah Pariaman sebagai daerah Rantau (jajahan), Gala Pusako dari ayah tidak bisa digantikan dengan sistem adat yang dibawa dari dataran tinggi tersebut.
Rombongan yang datang dan mendarat di Bandar tiku (berbatasan dengan Luhak Nantigo) serta mendirikan perkampungan dan menamakannya kampung Ghasan (untuk mengenang asal mereka Bani Ghasan). Sidi nan sabatang beserta keluarga dirajakan (dirajokan/dihormati layaknya raja) oleh Bani Ghasan. Penduduk pribumi baik yang ada di Pariaman maupun yang datang dari dataran tinggi pada akhirnya juga merajakan mereka. Keturunan Sidi nan sabatang baik yang bergelar Sidi maupun Bagindo dipanggil dengan panggilan Ajo (Rajo). Sutan yang merupakan kaum pengusaha dan pedagang juga dirajokan atau dipanggil Ajo.
Panggilan Ajo merupakan panggilan dari seorang adik kepada abangnya, bisa juga panggilan untuk orang yang usianya lebih tua. Orang yang boleh dipanggil Ajo adalah seseorang yang bergelar Sidi, Bagindo dan Sutan. Panggilan Uda merupakan panggilan seorang adik kepada abangnya atau panggilan kepada seseorang yang usianya lebih tua.
Menurut adat di Pariaman seseorang yang bergelar Marah yang boleh dipanggil Uda. Kemudian Orang-orang yang datang dari dataran tinggi Minang juga dipanggil Uda oleh orang Pariaman karena mereka adalah penduduk asli Tanah Minang atau melayu Minangkabau atau kaum pribumi ranah Minang. Sama dengan penduduk yang lebih dulu ada di Pariaman ketika rombongan Sidi Nan Sabatang mendarat di Bandar Tiku juga dianggap sebagai bangsa pribumi.
Beginilah cara para Bani Hasyim yang sampai di Pariaman dalam menyikapi perbedaan antara Bani Hasyim dan penduduk asli melayu Minangkabau. Bangsa Melayu yang tinggal di dataran tinggi (pedalaman) bisa hidup secara damai dan harmonis walaupun berbeda dalam adat dan istiadat.
Orang-orang yang bergelar Sidi dan Bagindo di Pariaman lebih bersifat egaliter, Gelar tersebut tidak menjadikan mereka orang yang sombong dengan keturunannya. Mereka berbaur dengan masyarakat pribumi, juga terjadinya asimilasi melalui perkawinan, walaupun masih ada juga yang mempertahankan pernikahan sekufu (Siti untuk Sidi).
Datuk Parpatiah Nan Sabatang sebagai peletak dasar pemerintahan desentralisasi Bodi Chaniago dalam mamangan disebut “duduak sahamparan, tagak sapamatan.” Hal ini menyiratkan bahwa kedudukan raja dan rakyat adalah sama didalam hukum (Demokrasi). Sistem ini memandang semua orang sama dan sederajat secara hukum, inilah yang menjadikan masyarakat Pariaman menjadi egaliter. Sangat berbeda dengan sistem sentralistik pemerintahan Koto Piliang yang dibangun oleh Datuk Katumangguangan, yang didalam mamangan disebutkan “Rajo ditantang, mato buto.” Hal ini bermakna bahwa raja punya kekuasaan yang Absolut, sehingga rakyat harus menjalankan apapun titah raja (Feodal).
Pada perkembangannya terjadi perpaduan kedua sistem tersebut yang didalam mamangan disebut “Rajo alim rajo disambah, rajo zalim rajo dibantah”. Sampai saat ini sistem inilah yang digunakan oleh masyarakat Minangkabau, yang bermakna ketika seorang penguasa memimpin dengan adil maka rakyat akan menghormati, ketika seorang penguasa berlaku zalim terhadap rakyat maka penguasa tersebut wajib untuk tidak didukung bahkan digulingkan dari kekuasaannya.
SEBAB MUSABAB HILANGNYA GELAR SIDI
Ada perbedaan yang fundamental antara zuryat Rasulullah di Pariaman dan dan zuryat Rasulullah didaerah lain di Nusantara dalam hal menjaga gelar keturunan. Gelar Sidi dalam adat yang berlaku di Pariaman bisa saja hilang diakibatkan beberapa hal, diantaranya adalah gelar Sidi disandang dan dilekatkan ketika seorang dari turunan Sidi sudah menikah, maka keluarga pihak perempuan memanggil menantunya, atau iparnya tersebut dengan gelar yang disandangnya. Bila dia tidak menikah sampai akhir hanyat maka dia tidak pernah dipanggil dengan gelar yang disandangnya.
Sebab lain adalah ketika keturunan Sidi menikah dengan orang yang tidak sebangsa (Pariaman), misalnya menikah dengan perempuan Jawa atau perempuan dari suku lain yang ada di Nusantara. Maka tentu saja pihak keluarga perempuan, apakah itu ipar atau mertua tidak ada yang memanggil Sidi. Menikah dengan penduduk asli Minang yang berasal dari Luhak Nan Tigo (Agam, Tanah datar, Limo Puluh Koto), oleh mereka siapapun menantu mereka, apapun bangsa menantu mereka, apakah bergelar Sidi, Bagindo, Sutan atau Marah, apakah berasal dari Pariaman atau daerah lain tetap saja dipanggil Sutan.
Adapun sebab lain adalah malu menyandang gelar Sidi, seorang yang bergelar Sidi biasanya malu dipanggil Sidi bila sikap dan moralnya tidak baik. Hal yang sangat mendasar menjadi penyebab hilangnya gelar Sidi tersebut adalah gelar tersebut tidak disandangkan kepada nama anak keturunan sejak lahir. Sangat berbeda dengan turunan Alawy yang datang pada awal abad VIII sampai dipenghujung abad XVI, mereka menyandangkan gelar tersebut didepan nama anaknya sejak mereka lahir.
Tulisan ini bukan untuk membanggakan keturunan tertentu atau merendahkan keturunan yang lain, hal ini semata-mata untuk mengingatkan penulis sendiri. Ketika kita menghadap Allah yang ditanyakan adalah amal dan ibadah yang kita lakukan semasa hidup bukan dari keturunan siapa kita berasal. sumber
APAKAH ADA KETURUNAN AHLUL BAIT, KETURUNAN NABI ATAU KETURUNAN RASUL?
Dalam Al Quran yang menyebut kata ‘ahlulbait’, rasanya ada 3 (tiga) ayat dan 3 surat.
1. QS. 11:73: Para Malaikat itu berkata: “Apakah kamu merasa heran tentang ketetapan Allah? (Itu adalah) rahmat Allah dan keberkatan-Nya, dicurahkan atas kamu, hai ahlulbait. Sesungguhnya Allah Maha Terpuji lagi Maha Pemurah”.
Ayat ini jika dikaitkan dengan ayat sebelumnya, maka makna ‘ahlulbait’ adalah terdiri dari isteri dari Nabi Ibrahim.
2. QS. 28:12: Dan Kami cegah Musa dari menyusu kepada perempuan-perempuan yang mau menyusukan(nya) sebelum itu; maka berkatalah Saudara Musa: ‘Maukahkamu aku tunjukkan kepadamu ‘ahlulbait’ yang akan memeliharanya untukmu, dan mereka dapat berlaku baik kepadanya?
Ayat ini jika dikaitkan dengan ayat sebelumnya, maka makna ‘ahlulbait’ adalah meliputi Ibu kandung Nabi Musa As. atau ya Saudara kandung Nabi Musa As.
3. QS. 33:33: “…Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu ‘ahlulbait’ dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya”.
Sedangkan ditinjau dari sesudah ayat 33 yakni QS. 33:34, 37 dan 40 maka penggambaran ahlulbaitnya mencakup keluarga besar Nabi Muhammad SAW. para isteri dan anak-anak beliau.
Jika kita kaitkan dengan makna ketiga ayat di atas dan bukan hanya QS. 33:33, maka lingkup ahlul bait tersebut sifatnya menjadi universal terdiri dari:
1. Kedua orang tua Saidina Muhammad SAW, sayangnya kedua orang tua beliau ini disaat Saidina Muhammad SAW diangkat sbg ‘nabi’ dan rasul sudah meninggal terlebih dahulu.
2. Saudara kandung Saidina Muhammad SAW, tapi sayangnya saudara kandung beliau ini, tak ada karena beliau ‘anak tunggal’ dari Bapak Abdullah dengan Ibu Aminah.
3. Isteri-isteri beliau.
4. Anak-anak beliau baik perempuan maupun laki-laki. Khusus anak lelaki beliau yang berhak menurunkan ‘nasab’-nya, sayangnya tak ada yang hidup sampai anaknya dewasa, sehingga anak lelakinya tak meninggalkan keturunan.
Bagaimana tentang pewaris tahta ‘ahlul bait’ dari Bunda Fatimah?. Ya jika merujuk pada QS. 33:4-5, jelas bahwa Islam tidaklah mengambil garis nasab dari perempuan kecuali bagi Nabi Isa Al Masih yakni bin Maryam.
Lalu, apakah anak-anak Bunda Fatimah dengan Saidina Ali boleh kita anggap bernasabkan kepada nasabnya Bunda Fatimah?. ya jika merujuk pada Al Quran maka anak Bunda Fatimah dengan Saidina Ali tidaklah bisa mewariskan nasab Saidina Muhammad SAW.
Kalaupun kita paksakan, bahwa ‘anak-anak’ Bunda Fatimah juga ahlul bait, karena kita mau mengambil garis dari perempuannya (Bunda Fatimah), maka untuk selanjutnya yang seharusnya pemegang pewaris keturunan tahta ahlul bait ‘harus’ diambil dari para anak perempuannya seperti Fatimah dan juga Zainab, bukan Hasan dan Husein sebagai penerima waris nasabnya.
Dengan demikian sistim nasab yang diterapkan itu sistim nasab berzigzag, setelah nasab perempuan lalu lari atau kembali lagi ke nasab laki-laki, kalau mau konsisten seharusnya tetap diambil dari nasab perempuan dan seterusnya.
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
ليس مِن رجلٍ ادَّعى لغير أبيه وهو يَعلَمه إلاَّ كفر بالله، ومَن ادَّعى قوماً ليس له فيهم نسبٌ فليتبوَّأ مقعَدَه من النار ))، رواه البخاريُّ (3508)، ومسلم (112)، واللفظ للبخاري
“Tidak ada seorangpun yang mengaku (orang lain) sebagai ayahnya, padahal dia tahu (kalau bukan ayahnya), melainkan telah kufur (nikmat) kepada Allah. Orang yang mengaku-ngaku keturunan dari sebuah kaum, padahal bukan, maka siapkanlah tempat duduknya di neraka” (HR. Bukhari dan Muslim).
Bagaimana Saidina Ali bin Abi Thalib, anak paman Saidina Muhammad SAW, ya jika merujuk pada ayat-ayat ahlul bait pastilah beliau bukan termasuk kelompok ahlul bait. Jadi, anak Saidina Ali bin Abi Thalib baik anak lelakinya mapun perempuan, otomatis tidaklah dapat mewarisi tahta ‘ahlul bait’.
Kesimpulan dari tulisan di atas, maka pewaris tahta ‘ahlul bait’ yang terakhir hanya tinggal bunda Fatimah. Berarti anaknya Saidina Hasan dan Husein bukanlah pewaris tahta AHLUL BAIT.
Nabi Muhammad SAW ‘diputuskan’ oleh Allah SWT dinasti nasabnya sehingga tidak ada beban tanggungjawab yang harus dipikul oleh para keturunannya. Begitu pula dalam Al Quran ditegaskan bahwa tidak kita temukan istilah ‘keturunan Muhammad’, ya apa lagi untuk istilah umum seperti keturunan nabi, ahlul bait atau rasul ya berbeda halnya dengan seperti nasib para nabi tertentu seperti istilah keturunan Adam, keturunan Ibrahim, keturunan Israil (QS. 19:58)
http://ahlulbaitrasulullah.blogspot.com/2015/12/larangan-mengganggu-keluarga-rasulullah.html
http://ahlulbaitrasulullah.blogspot.com/2016/02/mencintai-keluarga-nabi.html
Kepada yth,
Admin Rumah makan Saribundo,
Saya meninta anda untuk mencantunkam nama dari penulis “Sejarah Gelar Sidi Pada Masyarakat Pariaman (Keturunan Nabi Muhammad SAW)” Saya sudah cek ke Admin Sumutkita.com bahwa saudara memang sudah meminta izin untuk mengcopy paste artikel tersebut untuk diterbitkan di portal saudara. hanya saja saudara menghilangkan Nama Penulis dan juga tidak dari sumber mana saudara dapatkan artikel tersebut. Artikel tersebut adalah artikel yang ilmiah, artinya dapat dipertanggung jawabkan secara ilmu pengetahuan.
Dengan tidak mencantumkan nama dari penulis artikel tersebut serta tidak mencantumkan dari sumber mana saudara mendapatkan artikel tersebut dan saudara seolah-olah yang membuat tulisan artikel tersebut, maka saudara telah melakukan tindakan plagiat atas karya orang lain.
Terima kasih saya pada Admin Rumah Makan Saribundo yang telah memposting tulisan saya.
Buat saudara Elfan, Semua argumentasi saudara diatas sudah saya jawab dengan tuntas di Buku yang akan saya terbitkan dengan pembahasan topik yang sama di Buku ” Zurryat Rasulullah di Ranah Minang ” Terima kasih
Hormat saya,
Kardinal Syah
Penulis Artikel “Sejarah Gelar Sidi Pada Masyarakat Pariaman (Keturunan Nabi Muhammad SAW)”
Terimakasih sekali atas masukannya. Kami memang tidak mengetahui nama penulis asli artikel ini karena kami menyadur dari sumber yang tertera di akhir paragraf tulisan. Jika ada nama penulis yang asli mohon sekali infokan kepada kami sehingga kami akan cantumkan dalam artikel ini bang … 😀 ditunggu info nama penulis lengkap yang asli yah
Ijin share yo Bpk/Ibuk admin
Assalamualaikum pak kardinal syah. Dimana saya bisa mendapatkan buku “sejarah gelar sidi di pariaman” trsebut? Saya berminat membelinya
assalamulaikum, mohon maaf bapak kardinal syah untuk mendapatkan atau mau membeli buku tersebut dimana ya, mohon infonya. terimakasih
Bisakah saya memesan buku “Zurryat Rasulullah di ranah minang” secara online?
Hormat saya,
Zul Adha
Yth penulis Kardinal syah dan admin RMSARI BUNDO yg memposting tulisan ini.
Saya sangat senang membaca tulisan ini,apalagi penulis menyatakan bahwa tulisan ini ilmiah,saya sebagai orang minang yg ayah saya Sidi dan Ibu saya Siti, dan ibu saya berkampung di ghasan gadang, seperti mendapatkan wawasan baru,untuk memperkaya khazanah ilmu pengetahuan,utamanya sejarah, kepada anak2 negerii yg juga belum terlalu paham akan sejarah ini,kalau bolehsaya ingin menshare tulisan ini di facebook,apakah diizinkan?
Terimakasih
silahkan dishare saudara 🙂
Tarimo ksiah yo…artikel ilmiah yg bagus..
samo-samo, kami bantu share se nyoo
Nenek saya juga siti . Bapaknya nenek saya gelarnya sidi tapi kakek saya gelarnya sutan . Walau begitu Wajah Arab masih melekat di keluarga besar nenek saya . Saya pernah di panggil Teroris waktu jalan2 ke Bali awal tahun 2008 karena muka keluarga saya yg memang agak “Arab” . Saya pikir awalnya ahh palingan cuma kebetulan aja muka keluarga saya mirip orang arab . Terus saya jujur nggak tau kalau Orang Sidi itu ada keturunan arabnya sampai baca artikel ini . Saya juga sempet bingung , banyak orang yg bilang muka orang padang mirip orang cina , lah keluarga saya gak ada cina2nya malahh , idung mancung , mata belo , brewokan sado e . Idung paling mancung sebenernya Tante sama Om saya . Idungnya udah kyk paruh burung yg bengkok. Waktu itu saya pernah Umrah dan BAHKAN SAYA di ARAB SANA DIKIRA ORANG YAMAN , BAPAK SAYA DI KIRA ORANG OMAN. Pas saya bilang saya orang indo , mereka gak percaya . Ini Demi Allah swt kejadiqnya beneran terjadi . Pas mereka liat ibu saya yg mukanya sangat lokal haha , mereka baru percaya . Akhirnya rasa penasaran ini mmbuat saya ikutan program Nat Genographic untuk mengetahui asal usul sayaa . Tahun 2013 saya coba sign up dan bayar sekitar $150 untuk tes DNA itu yg di adakan oleh National Geographic. Hasilnya cukup mencengangkan sihh. Sekitar 15% Gen ane dari sebelah bapak berasal dari daerah sekitar Yaman dan Arab Saudi Selatan . Saya sempet shock sihh . Saya gak taunitu darah arab darimana awalnya . Secara bapak saya boleh di kata orang pariaman tulen sedangkan ibu saya orang sunda asli . Eh taunya pas baca artikel ini , saya baru tau gen arab itu darimana asalnya . Thanks bangett ya artikelnyaa
sama-sama … 🙂
Assalamualaikum.
Semoga webadmin Redaksi Sari Bundo berkenan mengizinkan saya menulis di sini krn saya sedang mencari sanak kerabat dari Pariaman.
Ayah adalah Sidi Gazali Hassan Sazali bin Bahauddin, lbh dikenal sbg (penulis) Prof. Madya Drs. Sidi Gazalba. Beliau wafat thn 2012. Jika ada yg mengetahui atau mengenal kerabat kami yg masih di Sumatra Barat, mohon bantuan memberikan reply di sini.
Terima kasih dan wassalam.
Silahkan nanti akan kami bantu share di jejaring sosial kami …
Maaf, tlg jgn di-share alamat email saya, demi keamanan … saya lbh berharap ada posting jawaban di sini saja. Terima kasih
Saya juga tertarik dengan Gelar Sidi, seperti kata ayah saya ,Gelar Sidi itu berat dan gak boleh main2 hidup harus lurus 2 saja…Dan saya sampai saat ini agak sedikit bangga dengan gelar Sidi turunan yang saya peroleh…. karena hanya ada di pariaman saja….
uniq….
Dan saya juga penasaran gelar Sidi itu dari mana asalnya. Menurut Buya / ayah saya,gelar sidi berasal dari Turunan Rasulullah ….., yang ranjinya sangat jauh keatas………, dan pendeknya turunan dari Alim ulama Pariaman, mungkin ucapan beliau benar jika saya merunut ke tulisan ilmiah diatas postingan Redaksi Sari Bundo ref Kardinal Syah,
Dan sampai sekarang saya masih penasaran juga siapa 7 turunan saya keatas???
Ayah saya hanya tahu sampai kakeknya saja,setelah itu belaiu gak tau lagi……….
adakah yang tau :
1. Sidi Sambilan
ranji yang terputus
sampai Labai Kasini
1. Labai Kasini
2. Buyung Gadang Datuk Rajo Sulaiman
3.Syahruddin Bin Buyung Gadang Datuk Rajo Sulaiman
4. saya dan 3 orang saudara laki + 1 perempuan
wajah kami rata2 mirip orang arab, saya lebih dominan arabnya……..
saya juga pengen test DNA pengen tau , barangkali ada sanak saudara di arab sana…….
Dan minimal saya tau 7 turunan keatas u silsilah bagi anak2 dan cucu saya nanti…..
apakah admin bisa bantu?
terima kasih buat admin dan bapak Kardinal Syah
Salam.
Notes ; oh ya Pak kardinal , dimana saya bisa memperoleh buku Bapak?
Coba kita cari tau bersama ya da …
Kakek buyut saya dari garis Mama bergelar Sidi. Dan sebelum pakai hijab saya selalu disangka cici-cici Chinese, sementara adik saya berkulit gelap dan berperawakan Arab. Now I know where it all came from. Such a good article, thanks admin!
Sama-sama 🙂
Sebagai orang minang yg lahir dan besar di perantauan tulisan ini sangat bermanfaat utk menambah khazanah pengetahuan ttg asal usul dan adat istiadat suku minangkabau…Izin share ya min…
Silahkan dishare, sama-sama saling berbagi aja kita
Terima kasih atas tulisannya, baik kepada sari bundo maupun penulis asli (sepenangkapan saya ditulis oleh bpk Kardinal Syah.
Saya sendiri keuturunan Pariaman yang saat ini merantau di Jakarta. Ketika menikah, saya diturunkan gelar Sidi, namun sampai hari ini saya masih merasa minder untuk menggunakan gelar tersebut karena merasa belum pantas menggunakannya. Berbeda dengan papa saya yang memang sangat kuat agamanya..
Papa saya sendiri cukup keliatan keturunan Arab-nya, dan juga adik-adik beliau keliatan keturunan Arabnya. Namun tidak turun ke saya dan adik saya..
Saya masih ingat ketika masih kecil menanyakan kepada Papa saya, kenapa semua orang memanggil beliau Sidi, sementara nama beliau bukan Sidi. Beliau menjawab, Sidi adalah gelar yang diturunkan turun termurun, dan kita adalah keturunan langsung Nabi Saw dari Ali bin Abi Talib. Saya diingatkan nanti ketika punya anak, jangan lupa menyampaikan infiormasi ini juga kepada anak saya nanti agar informasinya tidak putus. Walaupun tidak ada catatan turun temurun dari keluarga kam, informasinya cukup dipegang dan disampaikan ke keturunan kami nantinya..
Terimakasih komentarnya, share pengalaman yang sangat berharga
bagus banget sharenya thanks ya
Ayah saya lahir di pariaman dan gelar Sidi,dan saya ingin mencari wanita pariaman hehe
Saya orang tiku. Memang di tempat Saya ada bekas perkampungan pada zaman dulu dan disana banyak ditemukan batu2 nisan kuburan, ada yang batu biasa dan ada yang berukiran. Dan ketika menggali tanah di sekitar lokasi, banyak ditemukan pecahan2 dari kramik atau sejenisnya. Orang2 tua kami menyebutnya dahulu disana namanya KOTO GADANG. Dan saat ini masih ada. Lokasi Durian kapeh, tiku.
Bersyukur sekali bertemu dengan artikel ini, membuka wawasan saya akan zuryah yang saya emban. Dan setelah membaca komentar-komentarnya, ternyata banyak juga yaa turunan yang bergelar Sidi. Kebetulan Ayah saya seorang Sidi dan ke atas seterusnya. Hanya saja rincian silsilahnya yang saya kurang tahu. Kami dari ranah Pariaman tapi sudah lama di Aceh, tepatnya di Kota Langsa. Saya sendiri lahir dan dibesarkan di Aceh. Dan biasanya kami keluarga besar berkumpul tiap bulannya dengan sebutan ‘Anak Cucu Syekh Abdullah’, akan tetapi saya kurang begitu paham kronologi penamaan tersebut, bagaimana runtutannya, dsb. Dan saat ini keluarga dari Ayah telah tiada semua, jadi sangat minim informasi. Mungkin ada yang mengetahui, atau ada informasi seputar runtutan silsilahnya??
Saya sangat senang membaca artikel di atas untuk menambah wawasan saya ttg garis keturunan Rasulullah di ranah Minang .
Alhamdulillah dengan artikel ini jadi tambah pengetahuan saya mengenai Gelar Sidi di tanah pariaman.
Saya mohon Izin Share artikel ini di FB saya
Sekedar info..
Ayah saya Sidi Nur Anas (Sidi Anas) bin Sidi Karudin berasal dari daerah Gelombang, Pariaman, dan Ibu saya Nilawati Bin Kiram dari suku Guci.. hanya sampai di situ pengetahuan saya tentang garis keturunan kami.
Sekalian bertanya… istri saya adalah keturunan campuran suku, Ibu dari Padang dan Ayah Jogja… apakah anak lelaki saya masih bisa menggunakan gelar Sidi ? mohon info untuk/hanya sebagai penambah pengetahuan saya saja.
Terimakasih
assalamualaikum , sayyid awk ingin tahu lebih detail tentang sidi khusus ny dari keluarga sanak . kebetulan awak kini sdg di yaman tarim , dalam rangka kuliah . dan di Yaman ko terkenal dgn bnyak nyo zuriyah nabi
barangkali kito bisa berdiskusi lebih lewat wa , buliah mintak no wa sanak
kami juga di tanah datar menyandang gelar sayyid karen kami keturunan dari sultan syahabudin I Sultan pertama YDP Pagaruyung yang merupakan keturuan dari sayyid jumadil Kubro, jadi kito badunsanak sadonyo
[…] Sejarah Gelar Sidi Pada Masyarakat Pariaman (Keturunan Nabi Muhammad SAW) […]
[…] Sejarah Gelar Sidi Pada Masyarakat Pariaman (Keturunan Nabi Muhammad SAW) […]
[…] Sejarah Gelar Sidi Pada Masyarakat Pariaman (Keturunan Nabi Muhammad SAW) […]
Kasihan bangat si elvan……dari nada tulisan kamu kayak nya kamu gk suka adanya keturunan nabi di pariaman ,apa yg membuatmu benci kpda para sidi dan habaib yg ada indonesia,mudah mudahan kamu bukan komunis dan segeralah taubat dan berjabat tangan lah kpda para sidi dan habaib yg ada di indonesia ini.agar hidupmu di berkahi oleh Allah…..dan rasull nya…..dasar elvan kambing congek……
Oh begitu rupanya, terima kasih infonya
[…] https://rumahmuallafindonesia1.wordpress.com/2012/11/15/jejak-syiah-di-sumatera-barat/ […]
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh
Saya sangat tertarik dengan asal usul atau sejarah orang Pariaman. Kalau boleh bisa bertukar alamat email untuk diskusi lebih lanjut. Terima kasih.