Ritual Penangkal Bencana ‘Bakaua’ Masyarakat Minangkabau

Dengan maraknya antispasi berkembangnya virus corona Covid-19 di Indonesia, Tradisi tolak bala dengan kearifan lokal masing-masing daerah kembali bermunculan.

Jika di Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat tradisi mattola’ sebagai tolak bala yang masih dipertahankan hingga kini, maka masyarakat Minangkabau juga memiliki tradisi serupa yang bernama Bakaua.

Namun, tradisi ini sudah jarang dijumpai di setiap daerah di Sumbar seiring dengan berkembangnya zaman dan semakin majunya teknologi saat ini. Tidak dapat dipungkiri bahwa perkembangan zaman dapat menggerus tradisi dan budaya yang ada.


Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas (UNAND) Sumatera Barat Dr Hasanuddin mengatakan dengan menerapkan nilai-nilai kearifan lokal dapat menjadi resep utama agar tidak tercekam rasa takut berlebihan serta mampu menghindari berbagai penyakit.

Bakaua di Sumbar dilakukan masyarakat zaman dahulu dengan berkeliling kampung, membacakan doa bersama sambil membakar kemenyan, sebagai bentuk bahwa manusia merupakan makhluk lemah bagian dari alam ini.

Dengan Bakaua, lanjutnya, masyarakat zaman dulu percaya Allah akan melindungi mereka dari segala marabahaya dan bencana. Namun, saat ini tradisi itu perlahan mulai hilang di tengah masyarakat.

“Kondisi saat ini memang harus ada kebijakan-kebijakan yang diambil untuk mengantisipasi penyebaran virus corona covid-19, kemudian baru berserah diri kepada Tuhan Yang Maha Esa melalui upacara tolak bala,” katanya.

Ia juga menyampaikan kepada masyarakat agar tidak perlu takut berlebihan terhadap virus corona covid-19. Hanya saja perlu ditingkatkan kewaspadaan dan tidak mengabaikan imbauan-imbauan dari pihak terkait untuk menjaga kebersihan.

Masyarakat harus melakukan berbagai antisipasi untuk mengurangi dampak dari wabah itu sendiri, seperti ungkapan minang “jikok takuik dilamun ombak jan barumah di tapi pantai” yang maknanya kita harus menghindari yang akan mendatangkan dampak negatif yang lebih besar.

Kemudian, ia membagikan kisah Umar Bin Khatab yang menunda kedatangannya untuk mengunjungi daerah yang terserang wabah penyakit.

“Umar mengatakan dengan bijak, bahwa beliau ingin mengubah takdir buruk menjadi takdir baik,” jelas Hasanuddin.

Kisah Umar Bin Khatab itu bisa menjadi rujukan bagi masyarakat agar menahan diri untuk tidak berkegiatan di tempat yang ramai, atau melakukan kunjungan ke daerah yang sudah terinfeksi virus ini.

Sementara salah seorang anak muda di Ranah Minang, Yulia (27) mengatakan ia tidak terlalu sering mendengar istilah Bakaua dan tak pula pernah melakukan tradisi itu.

“Saya jarang mendengarnya, bahkan terdengar asing,” ujar dia.

Menurutnya, memang banyak tradisi yang mulai hilang di tengah masyarakat, apalagi soal tradisi yang tak lagi diturunkan oleh keluarga.

“Tidak bisa menyalahkan siapa-siapa, saya pribadi juga merasa bahwa saya kurang peka terhadap tradisi seperti ini,” kata perempuan asal Kabupaten Agam ini.

Sumber artikel dan photo : www.liputan6.com

Related Posts

Leave a Reply