Pesona 76 Rumah Gadang di Kampung Adat Nagari Sijunjung

Rasa lelah setelah menempuh perjalanan dari Padang menuju KabupatenSijunjung serasa terbayar, kala melihat deretan rumah gadang berjejer rapi diNagari Sijunjung. Pemandangan itu menambah istimewa nagari yang memiliki
nama sama dengan kecamatan dan kabupaten tersebut.

Nagari Sijunjung memang berada di Kecamatan Sijunjung, Kabupaten Sijunjung,Sumatra Barat. Posisinya sekitar enam kilometer dari Muaro Sijunjung, ibu kota kabupaten atau sekitar 122 kilometer dari Padang.

Tak banyak nagari di Minangkabau yang masih punya banyak rumah gadang tuaseperti Sijunjung. Di kawasan Kampung Adat Nagari Sijunjung terdapat 76 rumah gadang. Rumah-rumah itu dihuni oleh masyarakat setempat dari enam suku:Chaniago, Piliang, Malayu, Tobo, Panai, dan Malayu Tak Timbago.

Rumah-rumah gadang itu berjejer rapi di sisi kiri dan kanan jalan yang memiliki lebar sekitar enam meter, dengan macam tanaman bunga di halamannya.Berusia tua, namun rata-rata tampak berdiri kokoh dengan berbagai ukuran.

Berbeda dengan kawasan Seribu Rumah Gadang di Solok Selatan, Kampung Adat Nagari Sijunjung yang lebih rapat, jarak antara rumah dengan rumah lainnya di nagari ini tidak terlalu berdekatan.

Bila Anda memasuki Kampungan Adat Nagari Sijunjung akan tampak dari titik persimpangan sebuah patung seorang perempuan yang menjulang setinggi lima meter berpakaian adat. Patung perempuan itu dikenal dengan sebutan Puti Junjung.

Jika berdiri persis di patung Puti Junjung, sepanjang mata memandang akan terlihat rumah gadang begitu tertata di sisi kanan dan kiri. Jalan utama di kawasan Kampung Adat Nagari Sijunjung juga termasuk bagus karena telah diaspal.

Sisi kiri dan kanan badan jalan terdapat trotoar dengan lebar kurang satu meter untuk berjalan menikmati indahnya Rumah Gadang. Di sepanjang jalan, juga telah dibangun pagar dari berbatuan sungai menambah tatanan Rumah Gadang begitu cantik.

Ukuran Rumah Gadang di kampung ini beragam dan rata-rata pola bangunan berbentuk persegi panjang. Menurut Dosen Jurusan Arsitektur Universitas Bung Hatta, Joni Wongso, setiap suku di Kampung Adat Nagari Sijunjung memiliki rumah gadang yang berbeda.

“Rumah Gadang di Kampung Adat Sijunjung ini sudah pernah saya kelompokan. Memang berbeda-beda, kadang ada lantai rumah yang ditinggikan,” ujar Joni.

Dari segi bentuk bangunan, arsitektur rumah gadang di Kampung Adat Nagari Sijunjung merupakan tipe rumah gadang yang tergolong lebih kecil. Segi atap pun juga beragam mulai memiliki dua, empat hingga lima gonjong.

“Kadang ada penambahan teras di depan yang beratap gonjong juga, sehingga totalnya menjadi lima gonjong,” katanya.

Penambahan teras (beranda) di bagian depan rumah gadang, menurut Joni merupakan perkembangan dari gumah gadang daerah Luhak. Sedangkan untuk pintu masuk ke rumah gadang, kebanyakan berada di posisi tengah bangunan.

“Rata-rata pintu masuk berada di tengah bangunan. Berbeda di daerah Luhak yang kadang memiliki pintu masuk di samping atau pun di belakang bangunan,” ucapnya.

Joni mengaku belum menggali sejarah usia rumah gadang di nagari itu. Namun dari cerita yang didapatnya, diperkirakan telah ada sejak ratusan tahun.

Ia mengaku kagum dengan susunan rumah gadang tertata rapi. “Uniknya bisa teratur, tersusun rapi gitu. Kita lihat di perkampungan daerah lain pasti teracak,” katanya.

“Untuk kontruksi utama rumah gadang-nya, bangunan juga masih mengunakan pasak. Tapi dinding enggak, sebenarnya dinding juga bisa dipasak tapi sekarang terlihat sudah pakai paku,” sambung Joni. “Roh Matriarkat” di Sijunjung

Sistem garis keturunan ibu Minangkabau sangat terasa di Kampung Adat Nagari Sijunjung. “Roh” matriarkat itu terlihat jelas dari kaum kerabat perempuan yang menghuni setiap rumah gadang.

Hendra Yeni, misalnya, yang merupakan salah satu keturunan Suku Caniago. Perempuan 46 tahun itu tinggal di rumah gadang peninggalan Datuak Bandaro Sati yang merupakan Mamak Rajo atau Kepala Suku Caniago. Yeni adalah keturunan keempat, sebagai penerus penghuni rumah adat sukunya.

“Rumah Gadang ini sudah sekian keturunan. Mamak dengan gelar yang sama sudah empat orang yang meninggal. Sekarang yang baru juga tinggal di sini, masih bujangan. Penerus Kepala Suku Caniago namanya Gilang Ilyas Saputra Datuak Bandaro Sati,” ujar Yeni saat ditemui langgam.id beberapa waktu lalu.

Ibu lima orang anak ini mengakui telah sejak kecil tinggal di rumah gadang. Menurutnya, rumah yang dihuninya telah berdiri cukup lama. Walaupun sudah lumayan tua, tak begitu banyak renovasi yang dilakukan pada struktur bangunan.

Yeni mengatakan, hanya lantai dan beberapa dinding yang sempat direnovasi karena sempat rusak karena kondisi sudah lapuk. Rumah gadang yang dihuninya juga masih mengunakan sistem pasak yang memiliki 14 tiang.

“Merawatnya ya seperti merawat rumah sendiri, kotor dibersihkan dan lapuk diganti. Renovasi untuk rumah ini pakai dana pribadi, walaupun setiap rumah terdapat penanggung jawab dari Organisasi Perangkat Daerah (OPD) Pemerintah Kabupaten Sijunjung,” ungkapnya.

Jika dilihat dari luar bangunan, rumah gadang Yeni sedikit mencolok dan berbeda dari rumah lainya. Salah satunya seperti banyaknya ukiran. Setidaknya terdapat empat macam motif ukiran di dinding, seperti itiak pulang patang hingga pucuak rabuang.

“Rumah Gadang ini selain tempat tinggal juga menjadi pusat kegiatan adat, serta prosesi menjelang pernikahan yang masih kental dengan adat istiadat. Basiriah batando misalnya, itu wajib di Rumah Gadang dilaksanakan,” tuturnya.

Menggelar pesta pernikahan tanpa aturan adat tak diperbolehkan di kawasan Kampung Adat Nagari Sijunjung, apalagi dimeriahkan dengan musik atau orgen tunggal. Perayaan pernikahan dirayakan dengan adat istiadat Minangkabau.

Rumah Gadang Tanpa Rangkiang

Dari deretan 76 rumah gadang di Kampung Adat Nagari Sijunjung, tidak adasatupun bangunan rangkiang berdiri. Padahal, biasanya rangkiang ada di depan halaman rumah gadang sebagai tempat penyimpanan padi hasil panen.

Ternyata, masyarakat dari enam suku di Kampung Adat Nagari Sijunjung memilih menyimpan padi hasil panennya di bawah lantai rumah yang ditinggikan. Tempat ini berada di sisi sudut kanan dalam ruang utama, menurut masyarakat namanya balero.

Padi hasil panen itu dimasukkan di bawah lantai kemudian ditutup dengan tikar. Yeni mengatakan, tumpukan padi itu kadang juga sebagai pengganti kasur. Bahkan, konon katanya, apabila tidur di atas tumpukan pada bisa sebagai terapi kesehatan.

“Ciri khas memang disimpan di bawah lantai. Mayoritas memang kayak gini, tak ada rangkiang. Apabila perlu padi tinggal dibuka tikar lalu ambil. Kalau punya saya ini ada sekitar 60 goni (karung),” katanya.

“Dulu ada wisatawan mancanegara, mereka nginap di sini. Kami sudah sediakan kasur untuk mereka tidur, tapi enggak mau pakai kasur, malah tidur di tumpukan padi ini,” cerita Yeni.

Selain tempat tinggal masyarakat, rumah gadang di Kampung Adat Nagari Sijunjung memang juga dijadikan sebagai lokasi penginapan. Misalkan ada event yang diadakan di Kabupaten Sijunjung, para tamu akan bermalam di rumah gadang.

Salah satunya seperti iven bertaraf internasional kejuaraan dunia arung jeram yang bertajuk Silokek Geofest Rafting World Cup (SGRWC) 2019 yang baru ini digelar. Diketahui, ratusan atlet yang terlibat dalam olahraga ekstrem ini berasal dari nasional hingga internasional.

Terdapat para atlet dua negara seperti Malaysia dan Republik Ceko. Begitupun untuk atlet lokal dari berbagai provinsi di Indonesia. Untuk lokasi penginapan, para atlet ini bermalam selama empat hari di Rumah Gadang.

Mereka juga berbaur langsung dengan pemilik rumah. Pemerintah Kabupaten Sijunjung pun juga telah berkoordinasi kepada setiap tuan rumah. Tentunya menjadi pengalaman sendiri tidur di Rumah Gadang.

Salah seorang Atlet asal Malaysia, Muhammad Firdaus mengaku terpukau dengan nuansa keindahan alam dan adat istiadat di Kampung Adat Nagari Sijunjung. Suasana ini, tidak ia temukan di negara manapun.

“Alamnya hijau sekali, bagus. Kami atlet dari Malaysia sangat senang di sini. Kami sebagai pendatang berharap masyarakat dan pemerintah setempat dapat mempertahankan suasana ini,” ujarnya kagum.

Menuju Warisan Dunia

Keindahan dan sejarah yang ada di Kampungan Adat Nagari Sijunjung membuat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI telah menetap sebagai kawasan cagar budaya nasional. Bahkan, Pemerintah Kabupaten Sijunjung sedang berupaya untuk diterima UNESCO sebagai warisan dunia.

Bupati Sijunjung Yuswir Arifin mengatakan, pemerintah kabupaten sedang dalam tahap penyempurnaan teknis hingga dokumen-dokumen yang diminta UNESCO. “Ini sudah diminta oleh Dirjen Pendidikan dan Kebudayaan. Kita harus segera mempersiapkan berkas dokumen yang telah dijilid. Kelihatannya dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan diberikan peluang untuk diajukan ke UNESCO,” kata Yuswir.

Ia memastikan semua pihak yang terlibat akan bekerja keras dalam memperjuangkan Kampung Adat Nagari Sijunjung menjadi warisan dunia UNESCO.

“Kita kerjakan semua bersama-sama. Dokumen harus ada, regulasi-regulasi dari bawah hingga ke tingkat provinsi. Kita tetap berusaha, kalau perkampungan adat sudah berfungsi, ini jelas,” katanya.

“Masyarakat sudah meletakkan “roh” matriarkat ada di sini. Perkampungan adat aktivitas masa lalu masih terasa. Jadi dipertahankan dan dilestarikan hingga difungsikan,” ujarnya.

Related Posts

Leave a Reply