Peradaban bergerak maju secepat putaran zaman. Jika tidak terus dirawat, warisan leluhur yang menyala hari ini, tidak mustahil padam satu atau dua dekade mendatang. Berangkat dari kekhawatiran itulah lahir Kampung Baca Bukik Ase. Wadah literasi budaya Minangkabau yang hadirnya menjadi penyejuk di tengah ingar bingar Kota Padang.
Pagi itu, Minggu, pekan terakhir di bulan Februari, Habib berlarian pulang ke rumah. Dia disuruh ayah menjemput dua abangnya, Hamid, 8, dan Hanif, 10, yang tengah asyik bermain dengan kawan sebaya tak jauh dari kompleks perumahan mereka.
Namanya hari libur, bocah 5 tahun itu tampak bersungut-sungut menaati perintah ayah. Apalagi, dia harus berjalan kaki menjemput dan menyuruh kedua kakaknya pulang. “Mau kemana yah? Nggak lama kan?,” tanyanya kepada ayah dengan dahi mengernyit.
Sepertinya, murid TK Fadillah Amal Sungai Sapih, Kota Padang itu sudah punya agenda bermain dengan kawan sejawat. Berat rasanya Habib menerima ajakan ayah di hari libur untuk mengunjungi kampung baca yang berjarak sekitar 3 kilometer dari kediamannya.
Akhirnya, tiga bocah itu pun berboncengan sepeda motor ayahnya menuju Kelurahan Gunung Sariak, Kecamatan Kuranji, Kota Padang, Sumatera Barat (Sumbar).
Meski pendatang baru, Habib, Hamid dan Hanif tak ragu melenggang masuk pondokan Bukik Ase setelah seorang guru menyuruhnya masuk sesaat turun dari sepeda motor ayah.
Ketiga bocah itu pun bergabung dan turut khidmat membaca buku bersama puluhan anak lainnya yang sibuk dengan agenda berkelompok. Lucunya, setelah dua jam di Bukik Ase, giliran bocah-bocah itu yang enggan beranjak saat ayahnya mengajak pulang.
“Nanti ke sini lagi. Ayah harus pulang. Ada gotongroyong musala,” kata ayahnya, Taufik memberikan pengertian.
Kampung Baca Bukik Ase cukup jauh dari riuh Kota Padang. Paling tidak, sekitar 3 kilometer dari Bypass Padang. Letaknya di lereng Bukit Ase, Macang Gadang, Kelurahan Gunung Sariak, Kecamatan Kuranji. Lerengnya diapit gunung Sariak dan Bukit Lantiak. Ada pula Surau “Rumah Gadang” yang menjadi gerbang masuk menuju area belajar Bukik Ase. Sejuk pastinya.
Area belajar tidak terlalu luas. Ada dua pondok belajar yang keduanya beratap rumbia dengan tiang dari bambu. Satu pondok bernama ‘munggu kaciak’ dan satunya lagi disematkan nama ‘alun parindu’.
Di sini, belajar dimulai pukul 09.00 WIB setiap hari Minggu. Semua anak-anak dibebaskan datang. Mulai dari tingkat SD, SMP hingga SMA. Syaratnya cuma satu, mau belajar segala sesuatu budaya Minangkabau.
Di Kampung Baca ini, tidak diperbolehkan memanggil abang atau kakak kepada yang lebih besar. Siswa SD harus memanggil uda kepada siswa lelaki SMP dan uni untuk perempuan. Begitu seterusnya.
“Yang besar dipanggil uda (laki-laki) dan uni (perempuan). Gaya bercakapnya memang harus dengan bahasa Minang,” kata salah seorang relawan Kampung Baca Bukik Ase, Yuri Gita Putri pada JawaPos.com.
Gadis 22 tahun itu adalah satu dari 7 relawan yang masih menyandang status mahasiswa. Mereka tak digaji sepeser pun demi berbagi ilmu untuk generasi. “Saya tau ini dulu dari medsos. Katanya ada lowongan jadi relawan. Saya daftar dan diterima. Nggak kenal sama sekali dengan pengelola ini awalnya,” kata Yuri yang pernah juga mengabdi di panti asuhan sebelumnya.
Menurut Yuri, tantangan mengajar di Kampung Baca ini terletak pada tingkatan pendidikan. Sebab, tidak ada batasan sekolah untuk belajar di rumah literasi itu. SD, SMP dan SMA, semua disejajarkan. “Agak sulit menyeimbangi saja mungkin. Tapi itu bukan kendala sih,” bebernya.
Yuri sendiri melatih anak-anak belajar bahasa Inggris. Menurutnya, mayoritas sekolah dasar di sekitar Bukik Ase tidak mengajarkan siswa-siswi berbahasa Inggris. “Agak sulit juga. Tapi kami coba terus mengajarkan bahasa Inggris,” kata mahasiswi semester akhir jurusan Agri Bisnis Universitas Andalas itu.
Kampung Baca ini juga wadah berlatih randai (teater asli Minangkabau), silek tradisi, tari-tarian Minangkabau. Pagi hari, anak-anak belajar bahasa inggris. Kemudian dilanjutkan dengan kegiatan mendongeng. Lalu, latihan menari, silek dan randai dengan guru-guru yang mumpuni di bidangnya.
“Usai salat dzuhur, kami juga bantu siswa yang memiliki tugas sekolah,” katanya.
Guru Silek Kampung Baca Bukik Ase, Zulhelman Pandeka Dirajo mengatakan, semua anak-anak dibebaskan untuk bergabung di Bukik Ase tanpa kecuali. Sebab, tujuan Kampung Baca dilahirkan memang untuk melestarikan dan mewariskan budaya pada generasi Minang selanjutnya.
“Bagaimana silek tidak hilang, randai tidak lenyap, itulah tujuan kami menghadirkan ini,” kata Zul yang karib disapa Pandeka.
Pandeka sendiri merupakan salah satu penggagas lahirnya Kampung Baca Bukik Ase. Dia tidak sekadar bergala pandeka (pendekar), namun juga memegang tampuk jabatan tuo tapian (orang yang dituakan di sasaran silat). Serta kapalo rang mudo (mengantar nikah kemenakan) dalam kaum Jambak di Kenagarian Pauh Sembilan.
Di sini, lanjut Pandeka, sudah berdiri sasaran silek sejak zaman Belanda. Sedangkan Pandeka sudah angkatan ke empat menerima amanah sebagai tuo silek. Dengan lahirnya Kampung Baca, dia meyakini, tradisi silek akan terus terlestarikan. Apalagi, selain silek, anak-anak di Bukik Ase juga dilatih randai dan kesenian Minangkabau lainnya.
“Sekarang sudah rutin sekitar 50 orang anak ke sini setiap Minggu. Namanya baru, tentu berangsur-angsur,” katanya.
Mengusir kejenuhan usai belajar silek, randai dan tari, sekali dalam sebulan, anak-anak di Kampung Baca Bukik Ase juga disajikan rekreasi mandi ke sungai. Kampung ini juga menggiatkan belajar petatah-petitih adat.
“Pesertanya campur. Tapi diutamakan yang sudah dewasa. Ini latihannya malam,” katanya.
Geliat Kampung Baca Bukik Ase memang baru tampak lima bulan terakhir. Namun, gagasan dan upaya menjadikannya taman baca sudah dimulai sejak tahun 2017 silam. Saat itu, areal Bukik Ase yang kini sejuk di bawah rumpun bambu masih berbalut semak-belukar alias rimba.
Berangsur satu persatu-satu. Mulai dari pendataran lokasi, membuat tempat berjenjang. Ada sasaran silek, lingkaran randai yang semuanya masih beralas tanah. Nyaris semula tak satupun ada di sana, kecuali hanya Surau Rumah Gadang yang juga belum sempurna.
“Sengaja kami bangun dekat surau. Minangkabau identik dengan surau dan silek. Jadi, habis belajar, anak-anak salat dan pulang. Begitu konsepnya berjalan seterusnya nanti,” kata Pandeka.
Lelaki 43 tahun itu mengatakan, dengan semangat dan kebersamaan, mulailah satu persatu dilengkapi. Bahkan, surau yang dibangun tahun 2014 itu juga telah dilengkapi perpustakaan. Ini tidak terlepas dari peran para inisiator yang melahirkan Kampung Baca Bukik Ase.
Awalnya, terang Pandeka, sangat sulit menghadirkan anak-anak ke kampung baca ini. Bahkan, hanya 10 orang dan itu pun dijemput ke rumah masing-masing. Hal ini dipicu SDM masyarakat sekitar yang masih terkategori rendah. Sehingga takut dan curiga terhadap sebuah pembaruan.
“Tantangan terberat pertama, ya meyakinkan orangtua anak-anak, kalau tempat akan mendatangkan banyak manfaat. Jadi, daripada anaknya main ke sana-sini di hari libur, alangkah baiknya belajar budaya di Kampung Baca,” sebut ayah 3 orang anak itu.
Pandeka tidak menampik, meski berada di pusat Provinsi, masyarakat di kawasan Bukik Ase masih tergolong rendah SDM. Sehingga, sulit menerima datangnya sebuah kemajuan. “Yang orang tuanya sudah berfikir maju, diantarkan anaknya ke sini. Yang belum, kami rangkul pelan-pelan. Alhamdulillah, kini sudah lebih 50 anak belajar di sini,” bebernya.
Senada dengan itu, Suardi Dt Rajo Basa mengatakan, tujuan hadirnya wadah pelestarian budaya ini adalah untuk menjaga identitas Minangkabau. Jangan sampai budaya yang dimiliki hari ini, lenyap di masa mendatang. “Jalan agar budaya tetap terjaga tentu diwariskan. Konsep ini sudah saya miliki jauh sebelum pensiun,” kata Dt Rajo Basa.
Untuk melegalkan administrasi, Dt Rajo Basa pun membentuk lembaga Warisan Budaya Minang. Di bawah lembaga itulah bernaung kampung baca, sasaran silek, randai dan yang kegiatan kebudayaan lainnya di Bukik Ase.
“Ini investasi masa depan anak Minangkabau. Hasilnya tidak akan tampak cepat. Tapi akan kita rasakan 20 tahun yang akan datang,” kata Datuak.
Pemangku adat Minangkabau harus berfikir jauh ke depan dan konstruktif. Sebab, masa berganti, hidup menuju mati. Warisan budaya akan kekal sampai dunia kiamat jika tetap terus dirawat. “Makanya, tidak kami batasi anak-anak yang ingin belajar. Asalkan orang tuanya tersentuh, kami terima dengan senang hati,” bebernya.
Inisator lainnya, Yusrizal KW mengatakan, Kampung Baca Bukik Ase ini merupakan titik awal menuju Nagari literasi Minangkabau. Kawasan itu kelak menjadi percontohan pusat literasi Minangkabau.
“Sekarang sudah ada pustaka di samping surau Rumah Gadang. Nah, itu nantinya, bukunya bacaannya kami sortir. Khusus pusta yang berisi buku-buku tentang Minangkabau. Fokusnya itu,” kata Yusrizal.
Sastrawan kelahiran Padang itu menguraikan, Kampung Baca ini dibangun berdasarkan potensi yang bibitnya ada di tengah masyarakat Minangkabau. Namun, bagaimana bibit tersebut disemai dan terus tumbuh. Itulah yang dilakukan Bukik Ase.
“Tujuan akhirnya tentu merawat budaya. Generasi berkarakter sesuai dengan konsep pendidikan berkarakter. Di sini ada latihan randai siang hari, silek dan tari-tarian Minang lama. Tapi, ini bukan sanggar,” kata yang sebelumnya juga sukses menggagas rumah baca Tanah Ombak.
Di Kampung Baca Bukik Ase, lanjut Yusrizal, semua diajarkan sesuai kebiasaan tetua Minangkabau dahulunya. Bahkan, selain randai dan kesenian Minang lainnya, anak-anak, termasuk masyarakat sekitar diberikan wejangan tausyiah Jumat petang.
“Sekali dua pekan tausiyah. Ada bentuknya pengajian agama, ada juga kajian adat dari tokoh mumpuni,” kata Om KW.
Kampung Baca ini, terang Yusrizal, berbeda jauh dengan komunitas lainnya. Sebab, di Bukik Ase semua unsur dilibatkan. Semua unsur keluarga terlibat. Mulai dari anak, orang tua, tokoh adat dan masyarakat.
“Konsepnya betul ingin menjadikan Bukik Ase eksperimen menuju Nagari literasi Minangkabau percontohan di Ranah Minang,” katanya.
Kini berangsur-rangsur, semak-belukar yang berubah menjadi taman bacaan mulai digemari banyak anak dan masyarakat. Para inisiator berharap, Bukik Ase betul-betul menjadi wadah literasi yang menjaga budaya Minangkabau.
“Semoga harapan dan keinginan yang kami tompangkan di Bukik Ase kian terwujud seiring perkembangannya,” tutup Yusrizal.
Sumber : Jawapos