Mengapa Bisa Ada Rendang Malaysia? Ini Penjelasan Empirisnya

Mengapa Bisa Ada Rendang Malaysia? Ini Penjelasan Empirisnya

Dunia mengakui bahwa rendang berasal dari Minangkabau. Lalu bagaimana rendang menyebar dari Sumatera Barat hingga menjadi makanan yang begitu akrab di lidah masyarakat Indonesia? Bahkan rendang menyebar hingga ke Negeri Jiran.

Menurut sejarawan dari Universitas Andalas, Gusti Asnan, orang Minang memiliki tradisi merantau. Beberapa dokumen sejarah, lanjutnya, menyebutkan para perantau membawa bekal makanan yang diawetkan. “Orang (sejarawan) perkirakan sebagai dendeng dan rendang ini. Diperkirakan orang-orang Minang merantau ke luar daerah persebarannya pada abad antara 16 dan 17,” jelasnya, Kamis (5/4/2017).

Ia menambahkan beberapa sumber tertulis menyebutkan bahwa persebaran orang Minang ke negara-negara tetangga yang sekarang adalah Malaysia berlangsung pada abad ke-16. “Sumber paling tua itu menyebutkan abad ke-15. Walaupun ada yang menyanggah, ketika Kesultanan Melaka berdiri, orang Minang sudah ke sana. Melaka tahun 1511 sudah ‘dihancurkan’ Portugis, jadi orang-orang Minang sudah sebelumnya ke sana,” tambahnya.

Beberapa catatan orang Belanda, lanjutnya, juga menyebutkan bahwa orang Minang sudah lalu lalang dari Minangkabau ke Melaka. Makanan yang dibawa sebagai bekal diasumsikan adalah rendang dan dendeng. Namun seperti diungkapkan Fadly Rahman, seorang sejarawankuliner dalam bukunya “Jejak Rasa Nusantara: Sejarah Makanan Indonesia”, kata “rendang” nyaris tidak disebut-sebut dalam berbagai literatur selama kurun abad ke-18.

Fadly menuturkan bahwa salah satu fungsi rendang adalah sebagai bekal makanan awetan yang dibawa dalam perjalanan jarak jauh. Fadly menyebutkan bahwa orang Minang memiliki tradisi merantau dan arus perantauan orang Minang yang berdagang ke Malaysia dan Singapura terjadi pada abad 18-19. “Mereka selalu membawa rendang, dan makanan yang bisa diawetkan. Tidak hanya daging tapi juga ikan,” katanya, Jumat (6/4/2018).

Lepau dan Buku Masak Seperti dikutip dari artikel Kompas bertajuk “Warung Minang “Tambuah Ciek “ (1 September 2013), diaspora warung minang terjadi seiring migrasi besar-besaran orang Minang ke tanah rantau pada abad ke-20. Penduduk Sumatera Barat yang tinggal di luar kampung halamannya ketika itu mencapai 211.000 orang berdasarkan data sensus 1930. Mereka menyebar di Jambi, Riau, Sumatera Timur, dan Malaysia.

Migrasi meluas pasca-kemerdekaan Indonesia hingga ke kota-kota di Jawa. Karena komunitas orang Minang bertambah banyak, muncul kebutuhan membuka warung minang.

”Awalnya, pelanggan warung minang itu orang Minang saja. Pemiliknya sudah pasti orang Minang sebab warung sekaligus jadi tempat menampung sesama perantau. Lama-kelamaan, warung minang berkembang seperti sekarang,” ujar sejarawan Muhammad Nur dari Universitas Andalas.

Sebagian rumah makan minang di luar negeri juga berkembang seiring membesarnya jumlah perantau Indonesia.

Sementara itu, menurut Fadly, popularitas rendang baru meningkat pada abad ke-20. Ia mengakui tidak mendapati resep rendang pada literatur buku masak di Indonesia pada abad pertengahan sampai akhir abad ke-19. “Karena memang saat itu popularitas rendang belum semasif penyebarannya dan diaspora periode abad ke-20.

Tapi berkat para perantau yang melalukan perantauan ke berbagai wilayah di Jawa dan wilayah Indonesia dan Malaysia juga, akhirnya rendang mengalami diaspora,” jelasnya. Ia menambahkan bahwa orang-orang Minang perantauan ketika menetap di salah satu wilayah, salah satu trennya adalah membuat rumah makan Minang atau lepau (kedai nasi).

“Catatan atau dokumentasi tertulis dibuat para sejarawan, bahwa di Batavia banyak rumah makan Minang yang sudah sangat khas sekali jadi bagian dari kawasan urban di Batavia dan kota-kota lain termasuk juga di Bandung,” katanya. Berkat mereka, lanjutnya, popularitas rendang jadi naik daun. Para perantau mengenalkan rendang melalui rumah makan yang mereka dirikan dan akhirnya rendang dikenal masyarakat kebanyakan.

“Makanya pada awal abad 20, rendang mulai masuk ke beberapa buku masak. Dari semula makanan untuk bekal para perantau jadi signature dish-nya kuliner Minang,” tambah Fadly.

Resep rendang hadir di buku masak berbahasa Melayu dan buku masak daerah lainnya seperti Sunda dan Jawa, bahkan juga buku berbahasa Belanda. Salah satunya seperti buku masak karya S. Noer Zainoe’ddin Moro yang terbit pada tahun 1939 bertajuk Lingkoengan Dapoer: Boekoe Masak bagi Meisjes-Vervolgsholen jang Berbahasa Melajoe. Dalam buku masak itu terdapat resep dari Padang, salah satunya adalah resep rendang Padang. Hal ini diperkirakan dapat mendorong pembaca yang berada dari wilayah manapun untuk bisa membuat rendang sendiri.

Fadly dalam bukunya, memandang bahwa hal ini merupakan terobosan baru dalam dunia buku masak di Hindia Belanda, mengingat masa-masa sebelumnya resep rendang masih cukup langsa kecuali dalam catatan-catatan resep pribadi. Media massa juga berperan dalam menyebarkan popularitas rendang, seperti yang dilakukan Soenting Melajoe.

Dalam bukunya, Fadly menyebutkan surat kabar Soenting Melajoe yang berdiri pada 1912 oleh pers perempuan di Sumatera Barat, surat kabar itu dibaca para perantau Minang di luar Minangkabau. Isinya memuat berbagai informasi seputar aktivitas perempuan, salah satunya menu-menu resepsi dan resep masakan yang jarang didapat dalam buku masak di Jawa.

Perantau yang pandai memasak Asnan juga memperkirakan rendang mudah menyebar karena laki-laki Minang piawai memasak. Umumnya para perantau adalah laki-laki. “Semua orang laki-laki Minang itu pandai memasak dan umumnya perantau itu kan laki-laki semuanya dan mereka pandai memasak. Jadi kalau di Minang, ada kenduri yang masak laki-laki. kalau anak-anak muda yang tinggal di surau, biasanya setelah akil baliq itu tinggal di surau, itu rata-rata pandai masak semua,” ungkap Asnan.

Oleh karena itu, Asnan memperkirakan bahwa para perantau tidak canggung memasak. Sehingga saat bekal mereka habis, para perantau ini bisa masak lagi rendang dan dendeng seperti biasa mereka buat saat di tanah kelahiran. “Apalagi di negeri jiran, kelapa dan bahan bumbu itu semua ada. Itu tidak aneh bagi mereka untuk bikin rendang lagi,” katanya. Lalu bagaimana dengan zaman sekarang? Menurut Asnan, saat ini sudah mudah membeli rendang.

Ia mengaku para mahasiswa yang ia ajarkan sudah tidak masak karena kemudahan membeli makanan. “Rata-rata mereka bahkan tidak masak lagi. Mereka beli aja, masak nasi saja dan sambal gulainya beli,” katanya.

Tradisi membekali perantau dengan rendang pun menurut Asnan sudah mulai pupus. “Sekarang kalau saya dengar cerita mahasiswa, mereka jarang dibekali dari kampung, karena di kota dan perantauan sudah banyak yang jual,” katanya. Berbeda dengan saat ia masih kuliah di Universitas Andalas, Padang.

Setiap bulan, ia pulang kampung ke Lubuk Sikamping di Pasaman Barat. Asnan mengingat orangtuanya pasti membekali rendang tiap ia harus balik ke Padang. “Dalam setahun lebih sering dikasih rendang daripada makanan lain oleh orang tua. Rendang bisa tahan 3-4 hari atau lebih. Jadi bekal selama di Padang aman. Saya hemat pengeluaran juga.

Ia menuturkan bahwa pengalamannya ini juga muncul di cerita-cerita dan novel Melayu bahwa orang Minang yang merantau pasti dibekali rendang oleh orangtuanya.

Related Posts

Leave a Reply