Menengok Kampung ‘Galugua’ Terpencil di Sumbar

Berlokasi di Kecamatan IX, Kabupaten Limapuluh Kota, Sumbar, Nagari Galugua sangat memprihatinkan. Puluhan masyarakat merindukan infrastruktur layak.
Kondisi akses jalan Nagari Galugua, kampung terisolir di Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatera Barat, ketika hujan melanda kawasan itu.

Padahal, jalan itu merupakan akses satu-satunya bagi masyarakat Nagari Galugua untuk berinteraksi ke pusat kecamatan dan kabupaten. Seperti untuk membeli bahan kebutuhan pokok atau menjual hasil kebun. Sebab, kampung berjulukan “Nagari Petro Dollar” itu, tidak memiliki lahan untuk bertanam kebutuhan pangan.

Tidak perlu diguyur hujan lebat, gerimis saja, nagari kami sudah terisolasi. Kondisi sulitnya mobilisasi angkutan barang ke Galugua telah kami rasakan bertahun-tahun.

Ya, Galugua adalah salah satu kampung terpencil di bagian timur Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatera Barat (Sumbar). Di sana, hampir seluruh masyarakatnya berprofesi sebagai petani gambir. Kebutuhan pangan seperti beras dan sembako, sangat bergantung dari hasil penjualan gambir.

Sejak berpuluh tahun lalu, Galugua yang disebut-sebut nagari terisolir ini terbilang jauh dari sentuhan pembangunan. Bahkan, sejak 76 tahun Indonesia merdeka, warga Galugua mengaku masih belum merasakan pembangunan utamanya pada bidang infrastuktur.

Kondisi ruas jalan utama Nagari Galugua yang berpenduduk sekitar 4.000 jiwa itu, tampak sangat tidak memadai. Jalan nagari sepanjang 30 kilometer dari Muaro Paiti (pusat Kecamatan Kapur IX) atau 120 kilometer dari pusat Kota Payakumbuh, tetap rusak parah seperti kubangan lumpur.

Patria, 38 tahun, salah seorang warga Galugua mengakui, jika hujan melanda kawasan itu selama dua hari berturut-turut, akses penghubung nagari dari Galugua dipastikan terputus alias tak dapat dilalui. Ruas jalan yang berada di sisi tebing perbukitan ke kampung itu juga kerap longsor. Sungguh ironis, jika dibanding daerah lain yang serba lancar.

“Tidak perlu diguyur hujan lebat, gerimis saja nagari (Desa) kami sudah terisolasi. Kondisi sulitnya mobilisasi angkutan barang ke Galugua telah kami rasakan bertahun-tahun. Jika ingin tetap keluar Galugua, kadang, terpaksa jalan kaki puluhan kilometer,” katanya kepada Tagar, Selasa 11 Februari 2020.

Jika dari arah pusat Kecamatan, kendaraan roda dua atau empat bisa menempuh jalan hingga ke Sungaidingu, sebuah perhentian sementara yang biasa jadi tempat singgah warga apabila melakukan perjalanan ke Galugua. Jaraknya mencapai 6 kilometer ke pusat nagari.

“Tempat yang bisa dijangkau kendaraan ini (sepeda motor), persisnya satu kilometer menjelang jalur tersulit di Pontianantui yang sama sekali tak bisa dilewati pada saat becek,” kata Papat, 44 tahun, warga Galugua yang mengaku rutin bertolak ke Muaropaiti, mengantarkan hasil kebun gambirnya.

Warga yang terjebak dijalan, katanya, saban hari harus menginap dulu di sebuah warung satu-satunya di tepi jalan itu. Warung itu berada di tengah hutan pertengahan jalan antara Jorong Mongan ke Galugua. Sisi kiri-kanan jalan adalah perkebunan gambir milik warga serta hutan belantara.

“Beruntung warung itu ada orang yang menungguinya. Sehingga para pengendara yang mengangkut kebutuhan pokok dari pasar Payakumbuh, bisa menginap ditempat ini sampai jalan kering,” katanya.

Bidan Melahirkan di Tengah Jalan
Para pengunjung dari luar Galugua, selain memakai sepeda motor trail (trabas) biasanya juga menggunakan mobil double gardan. Jika tidak, mustahil akan sampai ke pusat nagari Galugua. Jarak tempuh normal ke sana biasanya tembus 3 jam.

Pada 2017 silam, Galugua pernah terisolasi selama seminggu akibat bencana alam. Dalam situasi bencana, ada kisah seorang bidan desa yang tengah hamil tua, terpaksa melahirkan bayinya di tengah jalan. Video perihal situasi kejadian itu, bahkan sempat viral di media sosial.

Yunita Sari alias Sari, 27 tahun, seorang bidan desa di Nagari Galugua yang kala itu menjadi satu dari empat kampung terisolasi pasca-banjir dan longsor. Sari harus melahirkan di tengah bencana, saat dalam perjalanan menuju rumah pasiennya, yang juga tengah hamil hampir 11 bulan.

Belum sempat membantu pasienya, Sari dikatakan mengalami kontraksi dan harus melahirkan. Karena terputusnya akses jalan menuju rumah sakit akibat longsor, membuat Sari harus rela melahirkan di tengah jalan dalam keadaan darurat.

Usai melahirkan darurat, Sari ditandu oleh beberapa warga sejauh 8 kilometer guna mencari bantuan kendaraan agar bisa memperoleh penanganan medis ke rumah sakit. Video kisah mengharukan itu pun banyak diunggah warganet, kala itu.

Rindu Infrastruktur Layak
Wali Nagari Galugua, Zulfahmi, mengatakan masyarakat nagarinya sangat membutuhkan bantuan infrastuktur jalan ke Galugua. Sebab, akses jalan merupakan kebutuhan vital bagi kelangsungan hidup masyarakat Galugua. Jalan merupakan urat nadi yang bisa membebaskan masyarakat terbebas dari keterisoliran.

“Berpuluh tahun, kami hidup dalam ketertinggalan. Semua fasilitas nyaris tidak memadai, mulai dari infrastuktur, sarana-prasarana, sampai sumber daya manusia. Kami berharap, pemerintah selaku pemangku kebijakan, mendengar jeritan hati masyarakat kami di sini,” katanya.

Selain buruknya kualitas akses jalan ke daerah mereka, berbagai fasilitas pendukung terhadap pelayanan masyarakat juga belum terbenahi. Dari segi kesehatan, ia mencontohkan, Galugua kini baru memiliki 1 Puskesmas Pembantu dan 1 Puskesri.

Adapun dua pos kesehatan, katanya, tidak pula dilengkapi fasilitas serta tenaga medis yang memadai. Mulai dari tenaga dokter, bidan, peralatan kesehatan atau mobiler seperti ambulan. Ketika ada masyarakat sakit parah, mereka kerap kesulitan merujuk pasien.

Apalagi, Puskesmas hanya berada di Muaro Paiti sedangkan RSUD berada di pusat Kota Payakumbuh. Itu pun, harus menempuh perjalanan jauh. Tak ayal, warga yang sakit parah, agar bisa dirawat ke RSUD terpaksa menyewa mobil pribadi dengan ongkos mencapai jutaan rupiah.

Berpuluh tahun, kami hidup dalam ketertinggalan. Semua fasilitas nyaris tidak memadai.

Fasilitas sekolah seperti SD dan SMP di Galugua dilaporkan juga belum layak. Salah satunya SDN 1 Galugua, yang hanya dilengkapi dua orang PNS. “Bahkan, ruangan kantor terpaksa dipakai sebagai tempat tinggal kepala sekolah,” kata Wali Nagari.

Zulfahmi mengatakan, empat jorong di Nagari Galugua, baru menikmati listrik sejak 2018 silam. Tahun sebelumnya, Jorong Mongan, Galugua, Kototangah dan Tanjungjajaran masih gelap gulita. Untuk penerangan, warga Galugua rata-rata memakai genset dan mesin diesel.

Jalan Rusak
Buruknya akses jalan Nagari Galugua, kampung terisolir di Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatera Barat. (Foto: Tagar/Aking Romi Yunanda)
Begitu pula jaringan seluler, untuk alat berkomunikasi ke luar Galugua, warga terpaksa mengakali memakai pemancar sinyal buatan. Atau juga mencari dataran tinggi seperti ke atas bukit yang dijangkau sinyal lemah.

Zulfahmi berharap pemerintah tidak membangun Galugua setengah hati. Pembangunan jalan ke Galugua harus sekali tuntas dengan anggaran yang besar. Dia ingin anggota DPRD provinsi, pemprov Sumbar atau pemerintah pusat dapat menganggarkan dana untuk pembangunan jalan ke Galugua.

Sebab, jika hanya mengandalkan APBD Limapuluh Kota, katanya, masih mustahil Galugua bisa terbangun. Jika pembangunan jalan tidak bisa dilakukan cepat, ia berharap pemerintah bisa menempatkan satu unit alat berat di Galugua. Sehingga saat cuaca ekstrem, akses jalan ke nagari mereka dapat langsung diperbaiki.

“Jika masih dengan pola yang lama dipastikan jalan Galugua akan seperti itu-itu juga. Yang ini diperbaiki, yang di sana sudah rusak. Makanya, kami berharap pembangunannya cukup sekali jalan saja sampai tuntas. Sehingga benar-benar bermanfaat,” tuturnya.

Sumber Artikel dan photo : www.tagar.id

Related Posts

Leave a Reply