Jika ada nasihat untuk memilih pasangan hidup dengan cermat, saran senada harusnya berlaku dalam memilih guide. Pemandu wisata bisa sangat memengaruhi kualitas sebuah perjalanan, apalagi untuk jenis wisata sejarah, seperti Lobang Jepang di Bukittinggi, Sumatra Barat.
Sebut saja siang itu saya sedang apes. Boro-boro mendapat pemandu yang informatif, cerdas, ramah dan sabar meladeni pertanyaan. Saya malah mendapat jatah guide tak sabaran yang buru-buru ingin merampungkan tugasnya. Ujung-ujungnya, saya pun hanya bisa menggerutu tiada henti. Nama guide itu? Saya sudah lupa.
Nah, setelah puas mengabadikan gambar Ngarai Sianok, kami memulai petualangan di Lubang Jepang. Siang itu pengunjung cukup ramai. Heran juga padahal saat itu bukan libur akhir pekan. Lubang Jepang merupakan bunker peninggalan jaman penjajahan Jepang di Nusantara. Konon tempat itu dijadikan basis pertahanan Jepang pada saat perang dunia kedua. Jadi, Lubang Jepang didirikan pada periode 1942-1945. Pekerjanya adalah para tahanan pribumi, yang menurut cerita berasal dari luar Sumatra, seperti Jawa dan Sulawesi. Pemilihan tenaga kerja ini bukan tanpa alasan. Jepang sengaja mengambil tenaga dari jauh supaya proyek ini terjaga kerahasiannya. Seiring waktu, bunker pertahanan itu berkembang jadi tempat pengintaian dan juga pembantaian tahanan!
Pintu masuk dari Taman Panorama sebenarnya hanya salah satu jalan menuju Lubang Jepang. Ada dua pintu lainnya yaitu dari Jalan Ngarai Sianok dan di samping istana Bung Hatta. Namun hanya pintu di Taman Panorama yang terbuka untuk umum. Pada saat ditemukan (entah tahun berapa), diameter pintu masuk ke Lubang Jepang hanya 20 cm. Pemerintah kota Bukittinggi kemudian resmi membuka Lubang Jepang sebagai wisata sejarah pada 1984. Setelah dipugar, lebar pintu masuk dan lorongnya menjadi sekitar dua meter, sedangkan tingginya tiga meter, cukup nyaman untuk dilewati.
Menurut penjelasan mas pemandu, lorong bawah tanah di Lubang Jepang ini panjangnya 1,47 km. Terdapat 21 lorong-lorong kecil yang memiliki berbagai macam fungsi. Ada bilik serdadu militer, ruang rapat, lorong penyimpanan amunisi, ruang makan romusa, dapur penjara, ruang sidang, ruang penyiksaan, penjara, tempat pengintaian, tempat penyegapan dan pintu pelarian. Masing-masing tempat telah diberi papan nama penjelasan. Kadang pemandu kami mau menjelaskan, tapi lagi-lagi dengan seenak hati. Huh!
Penerangan di dalam lorong cukup memadai, meskipun suasana masih tetap remang-remang. Lampu-lampu neon dipasang di berbagai sudut. Lorong ini mengingatkan saya dengan Chu Chi Tunnel di Vietnam. Namun lorong di Lubang Jepang memang lebih lapang dan tinggi. Menurut mas pemandu, dinding terowongan masih dipertahankan keasliannya. Konon terbuat dari pasir yang akan semakin kuat jika dicampur air. Dinding batunya bersekat-sekat untuk meredam suara agar tidak berjalan keluar.
Suasana di dalam terowongan awalnya terasa biasa-biasa saja. Apalagi di beberapa bagian, sentuhan modernitas sudah sangat terasa. Namun, di sebuah lorong utama yang bertuliskan “Pintu Pelarian” aura suram mulai terasa. Di belakang pintu tersebut ada cahaya masuk yang berasal dari lubang berpagar. Nah, di sebelah kanan lorong tersebut ada lorong lain yang berujung ke penjara. Itu adalah tempat memenjarakan para pekerja yang membangkang atau tawanan lain. Kemudian di sisi kanan penjara terdapat sebuah ruangan bertuliskan dapur.
Semula saya mengira dapur tersebut bermakna harfiah sebagai tempat untuk memasak. Ternyata saya salah. Pemandu kami menuturkan, dapur tersebut sejatinya adalah tempat pembantaian! Ya, pembantaian itu dilakukan di meja batu yang terletak di pojok ruangan. Saya langsung bergidik ketika memandangi meja tersebut dan membayangkan kejamnya pembantaian yang pernah terjadi di masa lampau. Setelah dibantai korban akan dibuang melalui sebuah lubang kecil di pojok ruangan. Menurut mas pemandu, lubang itu berujung ke Ngarai Sianok sehingga jasad korban akan sulit ditemukan. Mengerikan!
Cerita seram itu masih melekat di benak ketika kami berjalan menuju pintu keluar. Pemandu kami semakin tak berselera untuk bercerita. Saya hanya bisa menatap iri rombongan lain yang mendapat pemandu yang ramah dan tak henti memberi penjelasan menarik. Nyesel juga merogoh kocek sebesar Rp50.000 untuk pemandu asal-asalan seperti itu. Tapi mau bagaimana lagi?
Sampai di pintu keluar, kami disambut hujan deras. Terpaksa kami berteduh dulu. Sembari menatap rintik hujan, saya mencoba mengenyahkan bayangan seram tentang berbagai peristiwa yang terjadi di Lubang Jepang pada masa lampau. Berbagai cerita mistis tentang Lubang Jepang konon juga terus bermunculan. Cerita masa lalu Lubang Jepang memang suram. Tapi, sejarah tetaplah sejarah. Kita harus bisa menerimanya sebagai bagian tak terpisahkan dari negeri ini. Seperti saya juga harus menerima dengan lapang dada tingkah guide kami yang asal-asalan itu.
Bukittinggi, Juni 2013