Membaca Bukit Barisan dan Manusia Sumatera

Hampir memiliki kesamaan, pulau sumatra memiliki banyak gunung, baik yang sudah mati maupun aktif sama seperti pulau Jawa. Keberadaan sekitar 40 gunung ini melahirkan lanskap Bukit Barisan. Bukit Barisan yang kaya dan subur ini melahirkan peradaban manusia Sumatera yang hidup dalam berbagai suku.

Beberapa suku keberadaanya berasal dari Bukit Barisan bagian selatan, tengah, hingga utara. Beberapa gunung tertinggi menjadi sumber peradaban manusia. Terjalin hubungan harmonis manusia dengan Bukit Barisan, yang diwakilkan dengan satwa [harimau], tanah dan air [mata air, sungai dan danau] yang diitunjukan dalam berbagai budaya dan tradisi.

Saat ini terjadi perubahan bentang alam Sumatera, sebagai dampak ekonomi ekstraktif. Perubahan bentang alam itu berdampak buruk terhadap hutan, air, tanah dan satwa. Jika dibiarkan, peradaban manusia Sumatera akan hancur atau hilang.

Guna menyelamatkannya dibutuhkan upaya menghidupkan atau melesatarikan budaya atau tradisi yang berkembang di Bukit Barisan. Sehingga persoalan tersebut bukan hanya tanggung jawab pegiat lingkungan semata, juga seniman dan budayawan.

Seperti halnya Pulau Jawa, Sumatera juga memiliki banyak gunung berapi. Gunung berapi yang aktif, misalnya Marapi [Sumatera Barat], Kerinci [Jambi] dan Bukit Kaba [Bengkulu]. Bedanya, jika di Jawa terdapat banyak wilayah pegunungan, di Sumatera hanya Bukit Barisan.

Lanskap Bukit Barisan memanjang di wilayah barat Sumatera sepanjang 1.650 kilometer, dari Lampung hingga ke Aceh. Tercatat, 40 gunung di Bukit Barisan. Mulai dari Gunung Bandahara di Aceh hingga Gunung Tanggamus di Lampung.

Di luar Bukit Barisan, gunung di Sumatera terdapat di Kepulauan Riau, seperti Gunung Daik, Gunung Jantan, dan Gunung Ranai, dan Gunung Anak Krakatau di Lampung.

Peradaban di Sumatera, ternyata tidak hanya terbangun di wilayah dataran rendah atau pesisir, juga di wilayah Bukit Barisan, yang melahirkan sejumlah suku.

Keberadaan gunung-gunung di Bukit Barisan selain menyuburkan lahan sekitarnya, juga melahirkan lembah, danau, dan sungai. Lahan yang subur dan kayanya sumber air menyebabkan hampir semua lanskap Bukit Barisan berupa hutan. Hutan yang menjadi rumah bagi ribuan flora dan fauna, beserta kekayaan alam lainnya.

Kekayaan alam dan keberadaan sejumlah gunung ini menjadikan Sumatera sebagai pulau yang menjadi tujuan manusia dari berbagai wilayah di Asia, Timur Tengah, dan Afrika. Kekayaan alam sebagai sumber kehidupan dan gunung sebagai wilayah spiritual.

Manusia yang datang dan menetap di sekitar pegunungan di Bukit Barisan melahirkan budaya atau tradisi yang nilainya sama terhadap satwa, tanah, dan air. Hal ini terbaca sejak ribuan tahun lalu.

Jejak Peradaban megalitikum yang berkembang sekitar 2000-3000 tahun lalu banyak ditemukan di sekitar gunung tinggi di Sumatera, baik di kaki maupun lembah. Mulai dari Gunung Kerinci, Gunung Leuser, Gunung Dempo, Gunung Bandahara, Gunung Talamau, Gunung Marapi, Gunung Geureudong, Gunung Singgalang, Gunung Perkison, dan Gunung Talang.

Gunung Dempo, berdasarkan peninggalan yang masih ada pada saat ini, dinilai sebagai puncak peradaban megalitikum Bukit Barisan.

Dari artefak, seperti menhir dan patung, ditemukan rupa atau simbol yang menandakan alam semesta sebagai sumber pengetahuan/penanda hubungan harmonis manusia dengan alam semesta, yang diwakilkan flora dan fauna.

Kedatuan Sriwijaya, dua tahun dideklarasikan di Palembang, meletakkan hubungan harmonis manusia dengan alam semesta, sebagai dasar visi pemerintahannya melalui Prasasti Talang Tuwo.

Selanjutnya, pada semua suku yang hidup di sekitar 10 gunung tersebut, khususnya di sekitar Gunung Kerinci, Gunung Leuser, Gunung Dempo, Gunung Talamau dan Gunung Merapi, lahirlah pembauran manusia dengan alam yang disimbolkan manusia-harimau.

Manusia harimau diyakini hidup di Aceh, Tapanuli, Minangkabau, Kerinci hingga Dempo. Di Kerinci manusia harimau disebut cindaku, sementara di Dempo disebut masumai. Hubungan manusia dengan harimau ini juga melahirkan ilmu bela diri silat. Bagi masyarakat Minangkabau, jurus harimau merupakan silat tua.

Dr. Yenrizal Tarmizi, pakar komunikasi lingkungan UIN Raden Fatah Palembang menyatakan, selain harimau, tanah dan air merupakan hal penting bagi suku di sekitar pegunungan Bukit Barisan. Banyak sumber mata air yang disakralkan atau dijadikan tempat suci.

“Umumnya mata air yang disakralkan ini berada di kaki hutan larangan. Begitu pun dengan sungai. Jika larangan untuk merusak atau mengotori mata air atau sungai, balak [nasib buruk] atau kualat akan dialami atau menimpa pelakunya.”

Terkait tanah, juga dilakukan “sedekah” atau ritual permohonan izin atau rasa syukur atas apa yang diberikan tanah yang menyuburkan atau melimpahkan hasil pertanian atau perkebunan. Tanah dipahami sebagai milik Tuhan.

“Intinya, manusia dengan alam itu harus hidup harmonis. Jangan saling merusak, tapi saling menjaga,” katanya, Rabu [11/3/2020].

Pekerja budaya harus turun
Lanskap Bukit Barisan tidak akan kehilangan gunung, sebab dia berada di Patahan Semangko atau Sesar Besar Sumatera. Ada gunung yang meletus dan ada gunung yang lahir.

“Tapi, peradaban manusia di sekitar Bukit Barisan akan hilang. Ini dapat terjadi jika terjadi perubahan bentang alam, khususnya terhadap hutan, mata air, sungai dan satwanya,” kata Conie Sema, pekerja budaya dari Teater Potlot Palembang, Selasa [10/3/2020].

Kegiatan ekonomi ekstraktif, kata Conie, secara signifikan telah mengubah bentang alam Sumatera. Baik di wilayah pegunungan Bukit Barisan maupun wilayah dataran rendah dan pesisir.

“Selama ini bentang alam Sumatera terjaga karena nilai-nilai budaya yang dihidupkan dan dijalankan berbagai suku tersebut. Tapi nilai-nilai tersebut mulai kehilangan guru atau sumber pengetahuannya, yakni alam yang mulai rusak,” katanya.

Jadi, guna menyelamatkan bentang alam Sumatera, khususnya lanskap Bukit Barisan, perlu sekali menghidupkan budaya atau tradisi yang selama ini dilahirkan suku-suku tersebut.

“Ini sudah menjadi tanggung jawab kawan-kawan pekerja seni, budayawan. Artinya, penyelamatan bentang alam Sumatera bukan hanya tanggung jawab atau ranahnya para penggiat lingkungan. Seperti halnya persoalan ini bukan semata tanggung jawab KLHK [Kementerian Lingkungan Hidup Kehutanan], juga kementerian lainnya, khususnya kebudayaan, kelautan, pendidikan. Termasuk, yang mengurusi investasi dan perekonomian,” jelasnya.

Sumber Artikel dan Photo : mongabay.co.id

Related Posts

Leave a Reply