Masjid Raya Bingkudu dan Cerita Canduang Masa Lalu

Masjid Raya Bingkudu dan Cerita Canduang Masa Lalu

“Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke kota kelahiranku dengan menumpang bis, Tuan akan berhenti di dekat pasar. Maka kira-kira sekilometer dari pasar akan sampailah Tuan di jalan kampungku. Pada simpang kecil ke kanan, simpang yang kelima, membeloklah ke jalan sempit itu. Dan di ujung jalan nanti akan Tuan temui sebuah surau tua. Di depannya ada kolam ikan, yang airnya mengalir melalui empat buah pancuran mandi.”

Penggalan cerpen “Robohnya Surau Kami” karangan AA Navis itu merupakan gambaran bagaimana masjid ataupun surau di Minangkabau, tempo dulu. Umumnya, masjid dan surau memang memiliki kolam di halamannya. Bisa di samping atau di depan.

Begitu juga Masjid Raya Bingkudu. Berada di Jorong Bingkudu, Nagari Canduang Koto Laweh, Kecamatan Canduang, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, masjid ini juga punya beberapa kolam. Kolam-kolam tersebut berada di samping bangunan utama masjid.

Sejarawan Universitas Islam Negeri (UIN) Imam Bonjol Padang, Sudarman dalam bukunya yang berjudul Arsitektur Masjid dari Masa ke Masa menyebutkan, Masjid Raya Bingkudu dibangun abad ke-19.

Berdasarkan papan informasi yang berada di masjid tersebut, tertulis bahwa keterangan masyarakat setempat, Masjid Raya Bingkudu dibangun tahun 1823 Masehi. Diprakarsai Lareh Canduang yang bergelar Inyiak Basa (Haji Salam).

Pembangunan masjid dilakukan secara bergotong royong oleh empat sidang yang dibagi oleh Lareh Canduang, yaitu: Sidang V Suku di Bingkudu, Sidang III Alur di Kapalo Banda, Sidang IV Kampuang di Kayu Baganti dan Sidang Sebuah Balai di Lubuak Aur.

Namun, yang menjadi pelopor dari pembangunan masjid tersebut merupakan tujuh nagari, yaitu: Canduang, Koto Laweh, Lasi Mudo, Pasaneh, Bukit, Batabuah dan Lasi Tuo.

Setelah berdiri hampir seratus tahun, masjid Bingkudu menggalami beberapa kali pemugaran.

Pertama, 1920 yang dilakukan Syekh Ahmad Thaher, lalu 1925, pembanunan menara di depan masjid. Kemudian, pada 1950 dilakukan pemugaran atap dan pada 1952 penggantian tiang. Lalu, pada 1957 penggantian bagian atap, ijuk dengan seng.

Pada 1960 penggantian tiang macu dengan bata, tanpa mengubah bentuk aslinya. Lalu, pada 1961 penggantian papan dinding dan 1970 penggantian gonjong masjid yang patah diterpa angin.

Meskipun telah dilakukan beberapa kali pemugaran, bangunan Masjid Raya Bingkudu masih sama dengan bentuk awal berdirinya. Menggambarkan Minangkabau dahulu, sarat dengan nilai-nilai tradisionalnya.

Awal pembangunan Masjid Raya Bingkudu sama halnya dengan membangun Rumah Gadang (Rumah Adat Minangkabau). Berbahan dasar kayu dan tanpa menggunakan paku. Setiap kayu pada bangunan masjid dihubung menggunakan pasak.

Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) dalam situs resminya mencatat, bangunan utama Masjid Bingkudu menghadap ke arah barat, dan pintu masuk utama di sebelah timur. Denah ruang utama masjid berukuran 21 x 21 meter. Kaki bangunan masjid berupa pondasi beton setiggi 0,4 meter.

Lantai masjid dari papan kayu surian yang disusun rata membujur arah barat-timur. Di dalam ruang utama masjid terdapat 25 buah tiang. Tiang utama terletak di tengah-tengah ruang utama masjid yang terbuat dari beton berbentuk segi 12 dan berdiameter 1,25 meter. Di sekililing tiang utama terdapat 24 buah tiang kayu berbentuk segi 16 yang diameternya berukuran antara 20–45 cm.

Selain itu, dinding, tiang, serta mimbar diukir dengan ukiran khas Minangkabau. Mulai dari kaluak paku, saluak laka, carano kanso, aka cino saganggang, lumuik anyuik dan lainnya.

Keberadaan ornamen maupun ragam hias yang ada di Masjid Raya Bingkudu merupakan bentuk implementasi dari adagium adat basandi syarak dan syarak basandi kitabullah, yang jadi pegangan masyarakat Minangkabau.

Bentuk ragam hias yang umumnya mengadopsi bentuk tumbuhan, memperlihatkan hubungan seorang manusia dengan alam, sehingga melahirkan pepatah alam takambang jadi guru.

Bagi pencinta wisata religi, berkunjung ke Masjid Raya Bingkudu, akan menjumpai hal-hal menarik yang bisa dinikmati. Seperti mimbar yang penuh dengan ukiran, lampu gantung kuno dan tentunya suasa sejuk dan asri ketika kita berada di lereng Gunung Marapi.

Masjid tersebut bisa ditempuh dengan perjalanan sekira 30 menit dari pusat kota Bukittinggi, atau sekira 20 kilometer, bisa menggunakan kendaraan roda dua atau roda empat.

Related Posts

Leave a Reply