Sulit rasanya melepaskan kebudayaan dalam kehidupan masyarakat. Budaya telah menjadi kebiasaan atau cara hidup yang sudah berkembang dikalangan kelompok dan sudah diwariskan dari generasi ke generasi. Sampai saat ini budaya dalam kehidupan masyarakat Minangkabau Sumatera Barat, yang masih sangat menjaga kebudayaan mereka dengan sangat baik bahkan dalam segi berpakaian (Tikuluak dan Deta).
Pakaian yang dikenakan memiliki simbol dan makna tersendiri dalam kehidupan masyarakat Minangkabau. Seperti pakaian penutup kepala laki-laki yang disebut dengan Deta, dan Tikuluak untuk menutup kepala wanita. Pemakaian penutup kepala ini selain ditujukan untuk membedakan model pakaian kaum perempuan dan lelakinya, juga dapat menjadi tanda kewibawaan, kehormatan, kemuliaan, status, dan identitas pemakainya.
Menurut Dr. Indra Utama Pensyarah Senior Fakulti Seni Gunaan & Kreatif, Universiti Malaysia Sarawak, pembahasan mengenai tradisi penutup kepala pada budaya Minangkabau adalah berkaitan dengan jatidiri kehidupan orang Minangkabau yang mengamalkan adat istiadat Minangkabau. Hal tersebut terlihat dari pembagian peranan dan tugas antara kaum perempuan dan lelakinya yang berdampak kepada sikap hidup sehari-hari di dalam berperilaku dan berpakaian.
Deta atau Destar
Fungsi Deta bagi kaum laki-laki di Minang tidak hanya sekedar untuk menutupi kepala saja namun juga berguna untuk menunjukkan kewibawaan dan kehormatan seorang laki-laki. Bahkan dulunya kaum laki-laki di Minangkabau tidak akan merasa lengkap apabila tidak memakai deta di kepalanya. Namun kini, deta sudah jarang dipakai di dalam kehidupan sehari-hari. Kalaupun ada hanya dipakai ketika kaum lelaki belajar pencaksilat, atau sebagai tanda untuk melantik anggota baru. Deta tersebut dikenakan kepada anggota baru oleh guru pencaksilat di hadapan anggota perguruan lainnya.
Pemakaian deta bagi kaum lelaki yang ikut belajar pencaksilat pada budaya Minangkabau menjadi kelengkapan yang tidak boleh ditinggalkan dan selalu dipakai ketika mereka berada di sekitaran pembelajaran pencaksilat atau sasaran. Deta ini terbuat dari kain segi empat yang memiliki ukuran 110 cm x 110 cm. Cara pemakaiannya adalah dengan melipatkannya dalam bentuk segitiga yang kemudian digulung untuk dikenakan di kepala masing-masing pengguna sesuai model dan kebudayaan setempatnya.
Tikuluak Tanduak
Secara umum bentuk Tikuluak pada budaya Minangkabau menyerupai tanduk kerbau yang juga menjadi ikon kepada budaya minangkabau. Bentuk Tikuluak yang menyerupai tanduk kerbau itu juga sama dengan bentuk atap rumah adat orang Minangkabau yang disebut gonjong rumahgadang. Oleh kerana bentuknya yang menyerupai tanduk kerbau (Bahasa Minangkabau: Tanduak), maka ianya disebut Tikuluak Tanduak.
Secara tradisinya, Tikuluak Tanduak dibuat dari kain tenunan yang tebal sebagai hasil kerajinan masyarakat Minangkabau. Bagi orang Minangkabau, kain tenunan tersebut dinamakan kain balapak. Tenunan kain balapak sengaja dibuat tebal dari benang berwarna sehingga terlihat cantik dan mudah dibentuk untuk keperluan membuat Tikuluak. Biasanya, warna benang yang digunakan untuk membuat kain balapak itu adalah warna emas ataupun dengan warna khas adat Minangkabau iaitu merah, kuning dan hitam.
Ada tiga bentuk Tikuluak Tanduak pada budaya Minangkabau yang mewakili daerah tempatannya. Sepertimana banyak dihuraikan pada berbagai tulisan tentang daerah utama orang Minangkabau, menyatakan bahwa daerah asal masyarakat suku Minangkabau adalah di persekitaran tiga gunung pedalaman pulau Sumatra Bagian Tengah iaitu Gunung Merapi, Gunung Singgalang, dan Gunung Sago.
Kehadiran orang Minangkabau yang menduduki daerah sekitaran gunung-gunung yang kini menjadi daerah utama masyarakat suku Minangkabau yang disebut Luhak Nan Tigo, Luhak Tanahdatar, Luhak Agam dan Luhak 50 Koto. Sehingga sampai kini, daerah Luhak Nan Tigo disebut sebagai Pusat Alam Minangkabau. Saat ini, ketiga-tiga Luhak tersebut telah menjadi tiga kabupaten di dalam sistem pemerintahan di Sumatra Barat.