SARIBUNDO.BIZ – Lompong sagu adalah satu dari sekian banyak kuliner masyarakat Minangkabau yang dikenal dengan rasanya yang khas. Dibuat dari adonan tepung sagu dan pisang, makanan satu ini dulunya cukup dikenal oleh masyarakat Minang.
Salah satu hal yang membuktikan lompong sagu pernah berjaya dimasanya adalah, munculnya lagu berjudul Lompong Sagu yang pernah dibawakan penyanyi Elly Kasim.
Meski dulu begitu dikenal hingga dituangkan dalam bentuk lirik lagu, seiring perkembangan zaman lompong sagu sudah tak mudah untuk ditemukan.
Di Kota Padang saja misalnya, mereka yang masih menjual penganan satu ini hampir bisa dihitung dengan jari. Salah satu tempat masih mampu bertahan menjual makanan ini adalah, usaha Lompong Sagu Nizar
Lompong Sagu Nizar diambilkan dari nama pemiliknya, yaitu Nizar (60). Sekitar 20 tahun sudah ibu lima anak ini setia untuk menjual lompong sagu.
Bahkan saat makanan tradisional ini hampir terlupakan dan digantikan dengan beragam jenis makanan cepat saji yang menggugah selera, ia tetap bertahan untuk menjual makanan yang didalamnya diisikan gula merah tersebut.
Kakak dari Nizar, Bani yang saat ditemui tengah menggantikan Nizar yang sedang sakit untuk berjualan, mengatakan, beberapa alasan membuat adiknya bertahan untuk menjajakan lompong sagu.
Yang pastinya, sebut, Bani, adalah untuk menyambung hidup. Agar hidup ia dan anak-anaknya tetap berlanjut, dan tanpa harus meminta belas kasih orang lain, saban tahun Nizar tanpa rasa letih menjalani hari sebagai pedagang lompong sagu.
”Suaminya sudah tak ada saat anak-anaknya masih kecil. Kalau tidak berjualan akan dikasih makan apa keponakan saya itu. Karena dia pandai dalam membuat lompong sagu, jadinya Nizar menjadikan ini sebagai mata pencaharian,” kata Bani menceritakan tentang kehidupan adiknya pada Haluan.
Sebesar keyakinan Nizar untuk membesarkan anak-anaknya sepeninggal sang suami, sepertinya, sebesar itu pula lah tuhan membukakan pintu rezeki pada wanita yang berkampung halaman di Solok tersebut.
Meski menjual makanan yang notabene sudah tidak begitu dikenal, ia tetap bisa melanjutkan hidup, menyekolahkan anak-anak, dan bahkan membangun rumah untuk tinggal mereka.
Menurut Bani melalui berjualan lompong sagu, dengan modal sekitar Rp200 ribu usai berjualan Nizar bisa membawa pulang sekitar Rp350 ribu perhari.
“Yang membeli tak hanya dari Padang saja, ada yang datang dari luar Padang. Bagi yang merasa makanan ini sesuai selera, tak jarang mereka membeli dalam jumlah banyak.
Kemarin saja, ada yang memesan satu karton untuk di bawa ke Pakanbaru, sebelumnya hal seperti itu juga sering terjadi, pembeli memesan untuk dibawa ke luar daerah,” papar Bani.
Disebut Bani lagi, alasan lain yang juga membuat adiknya bertahan berjualan lompong sagu selama bertahun-tahun adalah, karena ia sadar penganan satu ini sudah tak banyak lagi tersedia atau dijual dipasaran.
Dulu waktu ia dan Nizar kecil, kata Bani, selain nasi, sang ibu sering membuat makanan tradisonal seperti lompong sagu untuk dimakan oleh anak-anaknya.
“Waktu kami kecil itu, pulang main kami sering makan lompong sagu buatan ibu sebagai pengganjal perut. Tapi sayang, hal seperti itu sekarang sudah jarang dilakukan orang-orang. Jika kami yang tua-tua ini masih bisa mengenalkan lompong sagu melalui berjualan makanan ini, kenapa tidak.
Dengan begitu anak-anak sekarang kan jadi tau juga makanan apa yang biasa dimakan nenek-nenek mereka saat kecil dulu,” kata Bani dengan tersenyum.