Sejarah mencatat para laskar jihad yang berasal dari Sumatra Barat, membela Indonesia hingga akhir hayat. Umumnya bermarkas di Bukittinggi, kota yang pernah menjadi pusat pemerintahan dan pusat militer Indonesia di Pulau Sumatra.
Di sumatera Barat , laskar-laskar jihad ini, terbukti memperkuat keberadaan Tentera (Tentara) Keamanan Rakyat (TKR)/Tentera Republik Indonesia (TRI) yang menjadi cikal-bakal lahirnya Tentara Nasional Indonesia.
Bukan hanya itu, laskar-laskar jihad yang pernah ada di Sumatra Barat, menjadi barisan terdepan dalam membela Indonesia dari serangan tentara Sekutu dan NICA. Termasuk juga dari Gempuran Agresi I dan dan Agresi II Belanda.
Sebelum Jepang masuk, di Sumatra Barat yang saat itu masih bernama Sumatera Tengah, sudah ada Pasukan Jihad untuk melawan Belanda yang di Darul Funun Abbasiyah, Padang Jopang, Limapuluh Kota. Imam Jihad Sumatra Tengah ini adalah Syekh Abbas Abdullah, ulama yang pernah ditemui khusus oleh Bung Karno, sebelum Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.
Dalam buku “Sejarah Perjuangan Kemerdekaan R.I di Minangkabau 1945-1950 Jilid I” disebutkan, jauh sebelum Soekarno-Hatta memproklamirkan kemerdekaan Republik Indonesia, di Sumatra Barat atau Minangkabau telah berdiri Majelis Islam Tinggi (MIT). Majelis ini didirikan oleh alim ulama seluruh Minangkabau, sebagai wadah bermusyawarah menghadapi politik pemerintah Jepang.
MIT yang berdiri di Minangkabau pada zaman Jepang, dipimpin oleh Syekh Sulaiman Arrasuli atau Inyiak Canduang, ulama karismatik yang terkenal itu. Sedangkan Sekretaris Umum MIT dijabat oleh HMD Dt Palimo Kayo. Keberadaan MIT ini didukung seluruh rakyat Minangkabau.
Bahkan pada zaman Jepang, MIT menunjuk seorang wakilnya menjadi penasihat pada kantor Syu Cho Kan (Residen) Sumatra Barat di Padang. Wakil MIT yang ditunjuk sebagai penasehat Syu Cho Kan itu adalah Mahmud Junus, ulama jebolan Mesir yang mendirikan lembaga pendidikan Normal Islam Padang dan menerbitkan Tafsir Quran.
Suasana Hari Raya Idul Fitri dan Peringatan 2 Tahun Kemerdekaan Indonesia di Bukittinggi, 1947. (Repro Buku Sejarah Perjuangan Kemerdekaan Indonesia di Minangkabau 1945-1950 Jilid I)
Ketika pemuda-pemuda di Sumatra Barat menerjunkan diri dalam pendidikan Gyu Gun (Giyugun) di Padang, Mahmud Junus bersama Chatib Soelaiman dan Datuak Simaradjo, masuk dalam daftar pimpinan pembentukan Gyu Gun itu. Sejarah mencatat, pendidikan Gyu Gun, walau program pemerintah Jepang, namun membawa pengaruh luar biasa terhadap pembentukan TKR/TRI di Sumbar dan Riau, karena jebolan Gyu Gun mayoritas menjadi tentara.
Setelah Jepang hengkang dari Ranah Minang, keberadaan MIT di Minangkabau, makin gemilang. MIT berperan aktif dalam menyambut dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia, dengan mengeluarkan fatwa bahwa berjuang mempertahanakan agama, bangsa, dan tanah air adalah perjuangan suci. Gugur dalam perjuangan itu adalah mati syahid!
Fatwa MIT inilah yang menyebabkan terbentuknya laskar-laskar jihad atau barisan-barisan rakyat bersenjata di Minangkabau, untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia setelah 1945. Laskar-laskar jihad yang pernah ada di Sumatra Barat dan berjuang untuk “Merah Putih” itu di antaranya adalah Barisan Sabilillah.
Barisan Sabilillah yang dibentuk MIT ini, bersama Tentara Keamanan Rakyat (TKR), pernah menggelar Pendidikan Perwira (Pendidikan Opsir) di Kamang, Kabupaten Agam. “Kamang dipilih karena semangat juang rakyatnya yang tinggi dan anti Belanda, bahkan sudah menggelegar semenjak adanya Perang Kamang tahun 1908,” tulis HC Israr, salah satu perwira Barisan Sabililllah yang ikut dalam Pelatihan Opsir di Kamang tersebut.
Dalam buku biografinya berjudul “HC Israr, Kesederhanaan dan Kepejuangan Anak Payakumbuh”, HC Israr menyebut, Pendidikan Opsir yang digelar MIT dan TKR terhadap Barisan Sabilillah, melibatkan sejumlah pelatih atau instruktur. Di antaranya, Letnan Leon Alim, (Letkol) Dahlan Ibrahim, Letkol (Dahlan Djambek), (Letkol) Syarif Usman, Gafar Djambek, dan lain-lain.
Sedangkan anggota Barisan Sabilillah yang mengikuti Pendidikan Opsir di Kamang bersama TKR ini, berjumlah 30 Orang. Tidak hanya dari Sumbar, namun juga ada dari Tapanuli Selatan. Selain HC Israr, juga ada Anwar Muin, Jamaan Salim, Mazni Salam, Hasnawi Karim, Zainiddin Zen, S Dt Tombak Alam, Yunus Syuib, Usman, Aziz Arif, Jamalus Nurut, Rangkayo Gusti, Saibi St Lembang Alam, Alimin, Basyiruddin, Dalimunthe, dan Busnar.
Peserta Pendidikan Opsir ini dilantik pada 16 Maret 1946 di lapangan Ateh Ngarai Bukittinggi. Setelah dilantik, mereka ditugaskan membentuk Barisan Sabilillah atau Laskar Sabilillah di daerah asal masing-masing. Khusus di Kabupaten Limapuluh Kota, Barisan Sabilillah, dibentuk dengan melibatkan bekas Gyugun, Seinenda, Heiho, dan pemuda tamatan Training College (TC). Mereka dilatih di Taram, Payakumbuh, dan Koto Kociak.
Bukan Hanya Barisan Sabilillah
Barisan Sabilillah yang dibentuk Majelis Islam Tinggi (MIT) Minangkabau, bukanlah satu-satunya laskar jihad pembela kemerdekaan Indonesia yang pernah ada di Sumatera Barat. Selain “Barisan Sabilillah”, juga ada “Barisan Hizbullah” yang dibentuk Muhammadiyah sejak Oktober 1945.
Berikutnya, ada pula Lasjkar Muslimin Indonesia (Lasjmi) dan Lasjkar Muslimat yang dibentuk oleh Partai Islam PERTI (Persatuan Tarbiyah Islamiyah). Kemudian, ada pula “Tentara Allah” yang dibentuk oleh Partai Politik Tarikat Islam (PPTI).
Selain itu, ada Barisan Istimewa yang dibentuk Partai Rakyat Indonesia (PRI). Serta, ada pula “Barisan Jenggot” dan lain-lain. Sebab, pada saat itu, Partai-Partai Politik memang boleh dibentuk di tingkat lokal dan boleh pula membentuk laskar-laskar atau barisan rakyat bersenjata untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Tentara, Barisan Rakyat, dan Laskar-Laskar Jihad, memperingati 1 Tahun Kemerdekaan RI di Sumatra Barat. (Repro Buku Sejarah Perjuangan Kemerdekaan RI di Minangkabau 1945-1950 Jilid I)
Bahkan, Majelis Tinggi Kerapatan Adat Alam Minangkabau (MTKAAM) pada saat itu, tepatnya pada 21 Desember 1945 juga membentuk barisan rakyat untuk mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Barisan yang dibentuk MTKAAM ini bernama “Barisan Hulubalang”. Opsirnya dilantik di Padang Panjang pada 16 April 1946.
Seluruh laskar-laskar jihad dan Barisan Rakyat yang pernah ada di Sumatra Barat, seperti Barisan Sabilillah, menggelar latihan militer buat anggotanya. Dalam latihan, “pasukan jihad” ini diajari baris-berbaris, menyerang musuh, bergerilya, cara menggunakan senjata api, termasuk bongkar pasang karaben buatan Jepang, Italia, maupun Inggris. Serta cara meletakkan granat Jepang dan Inggris.
“Yang tak kalah pentingnya, bersamaan dengan itu (latihan militer), dilakukan upaya membangkitkan semangat kemerdekaan. Cinta tanah air, berjuang dan berjihad untuk membela agama, nusa dan bangsa. Serta sedia berkorban, meski nyawa sekalipun. Saat itu, berkumandang slogan hidup mulia atau mati syahid,” tulis HC Israr yang pernah menjadi Komandan Lasykar Sabilillah Kabupaten LImapuluh Kota, dengan markasnya di Jalan Labuah Baru (Jalan Arisun), dekat gedung Training College (TC) Payakumbuh.
Bermarkas Utama di Bukittinggi
Secara keseluruhan, laskar-laskar jihad dan barisan-barisan rakyat bersenjata yang pernah ada di Sumatra Barat pada zaman perjuangan kemerdekaan Indonesia, memiliki markas utama di Bukittinggi. Begitu pula dengan organisasi dan partai-partai politik yang membiayainya. Sebab, Bukittinggi pada saat itu telah menjadi pusat pemerintahan dan pusat militer di Pulau Sumatra.
Awalnya, tiap-tiap laskar jihad dan barisan rakyat Sumatra Barat yang bermarkas di Bukittinggi, punya Divisi dengan pimpinan/komandan yang berbeda. Khusus Barisan Hizbullah yang dibentuk Muhammadiyah, berdasarkan konferensi di Padang Panjang pada Juni 1946, menetapkan Divisi III Hizbullah, dengan nama Divisi Tuanku Imam Bonjol. Divisi ini dipimpin oleh Agus Salim.
Kemudian, pada 26 November 1946, berdasarkan konferensi Pimpinan Hizbullah, Sabilillah, dan Mujahidin se-Sumatra yang digelar di Bukittinggi, dengan persetujuan Pengurus Besar Masyumi di Jogyakarta dan Markas Tertinggi Hizbullah di Malang, ditetapkan adanya satu Komando bagi Hizbullah, Sabilillah, dan Mujahidin, serta Barisan-Barisan Wanitanya untuk seluruh Sumatera. Komando di seluruh Sumatra ini dipegang Bachtiar Junus.
Sebelumnya, laskar-laskar jihad yang ada di Sumatra Barat, seperti Hizbullah, Lasjmi, dan Barisan Hulubalang, sempat bergabung dalam Tentera Islam Indonesia Sumatera Tengah. Namun, gabungan ini tidak berjalan lama. Karena dalam konferensi antara Pimpinan Gateri (Gabungan Tentara Islam dan Alim Ulama) dengan tentara, diputuskan untuk membubarkan Gateri.
Dalam buku “Sejarah Perjuangan Kemerdekaan R.I di Minangkabau 1945-1950 Jilid I (Pertama)” disebutkan, barisan-barisan rakyat atau laskar-laskar yang pernah ada di Sumatra Barat, mempunyai semangat juang yang sangat tinggi sekali. Namun kekurangannya juga banyak.
Kondisi ini, diungkapkan pula oleh Buya Hamka, ulama legendaris dari Sumatra Barat. Dalam buku “Bung Hatta Mengabdi Kepada Cita-Cita Perjuangan Bangsa”, Buya Hamka menulis: “Di samping tentera yang resmi, yang ketika itu bernama TRI (Tentera Republik Indonesia), berdirilah berbagai barisan. Tiap golongan mendirikan barisannya sendiri. Yang satu, tidak mau kalah dari yang lain.”
Meski demikian, Buya Hamka dalam tulisannya menegaskan, bahwa semua barisan-barisan itu (laskar-laskar jihad yang ada di Sumatra Barat), hanya mempunyai satu maksud. Yaitu berjuang melawan Belanda, mempertahankan kemerdekaan: “Esa Hilang, Dua Terbilang”.
Walau maksud barisan-barisan ini amat mulia, tetapi dalam buku “Sejarah Perjuangan Kemerdekaan R.I di Minangkabau 1945-1950 Jilid I (Pertama)” juga ditegaskan, banyaknya barisan dan banyaknya “Kolonel”, kian lama kian menghasilkan kekacauan pada strategi. Mereka memang berani, tapi kebanyakan tidak mau tahu siasat yang dipegang oleh komando resmi yang berada dalam tangan TKR/TRI.
Untuk itu pula, sejak 1947, sudah dilakukan upaya-upaya oleh TKR/TRI, untuk menyatukan seluruh laskar-laskar dan barisan rakyat yang ada di Sumatera Barat. Ini tentu sesuai pula dengan semangat Dekrit Presiden 5 Oktober 1945 tentang Pembentukan TKR dan Maklumat Komite Nasional Indonesia Pusat 9 Oktober 1945 yang mengimbau laskar-laskar dan Barisan-Barisan Rakyat, bergabung dalam TKR/TRI.
Satu Komando dengan TKR/TRI
Upaya menyatukan laskar-laskar jihad dan barisan rakyat di Sumatra Barat dalam TKR/TRI, sudah dimulai sejak 1947. Atau setelah terbentuknya TKR/TRI untuk Sumatera yang berkedudukan di Bukittinggi.
Seperti diketahui, pembentukan TKR/TRI di Sumatra Barat dan Riau sudah dilakukan sejak Oktober 1945. Ini ditandai dengan adanya Divisi III TKR/TRI Sumbar dan Riau. Divisi II TKR/TRI Sumbar dan Riau ini, membawahkan 4 Resimen dan 14 Batalyon.
Komandan Resimen I Divisi III TKR/TRI yang berkedudukan di Bukittinggi adalah Letnan Kolonel Syarif Usman. Saat menjabat ini, Syarif Usman berupaya menyatukan komando laskar-laskar jihad dan barisan rakyat dengan komando TKR/TRI. Sumber