Boleh ya pamer pada teman-teman tentang insting blogger saya yang mulai bekerja dengan baik? Saya pikir perlu dipamerkan karena sudah membawa saya pada beberapa penemuan menarik. Seperti siang kemarin, pulang dari Danau Tarusan Kamang – Bukittinggi, saat menunggu angkot di Simpang Tarusan, di seberang tampak kerumunan ibu-ibu.
Mereka duduk di pelataran rumah dengan gerobak di depannya. Di atas gerobak terlihat beberapa container plastik. Seorang diantaranya sedang makan sesuatu. Tak menunggu lama saya pun langsung menyeberang mencari tahu apa yang sedang mereka lakukan. Oh rupanya mereka sedang jajan kerupuk kuah sambil ngobrol dengan tetangga.
Kanagarian Kamang –dimana saya berada– terletak dalam Kabupaten Agam – Sumatera Barat. Terkenal sebagai sentra industri kerupuk singkong yang disebut Karupuak (Kerupuk) Kamang. Distribusinya sudah lintas pulau. Jika di pasar kebetulan teman-teman melihat kerupuk singkong dengan totolan hijau berupa irisan daun bawang, kemungkinan penganan itu berasal dari negeri ini.
Biasanya menikmati kerupuk kamang cukup digoreng dan dimakan begitu saja. Semantara ibu-ibu yang menyambut kami dengan ramah itu mengatakan bahwa yang sedang mereka nikmati di sebut Kerupuk Kuah. Maksudnya kerupuk kamang dioles kuah sate lalu diberi topping bihun goreng.
Kerupuk kuah yang saya temui ini dijajakan menggunakan gerobak besi berbentuk bak. Biasanya untuk mengangkut pasir, semen, batu, atau karung padi. Pemiliknya ibu berkerudung kuning. Bahan untuk meramu kerupuk kuah di simpan dalam container plastik dan disusun dalam gerobak.
Dengan kendaraan ini si ibu bajojo (menjajakan) keluar masuk kampung. Sore nanti ia akan menggelar tikar plastik yang ia bawa di tepi Danau tarusan.
Kerupuk tersedia 2 ukuran : besar diameter sekitar 10 cm dan kecil diameter separuhnya. Ibu penjualnya bertanya saya mau yang mana? Biar lebih sip –maklum lapar– saya memilih yang besar. Harganya Rp.3000 per buah.
Berhubung kosa kata untuk kelana rasa terbatas, cuma tahu enak dan tidak enak, rasa kerupuk kuah menurut saya lumayan enak. Sekalipun menurut lidah Minang saya yang murtad, akan lebih sedap bila diberi sedikit sentuhan gula. Namun crunchy dari kerupuk ditambah gurih dari bumbu sate cukup mengena dinikmati siang hari seperti itu. Kehadiran bihun goreng yang diberi pewarna kunyit alami cepat menimbulkan persaan kenyang.
Yang sedikit masalah untuk saya hanya cara menghidangkannya. Dipegang begitu saja pakai tangan. Kerupuk kuah dipipil atau digigit sedikit demi sedikit dari tepi layaknya makan pizza. Nah kalau kurang hati-hati dijamin bihun gorengnya akan berantakan kemana-mana. Sementara badan kerupuknya memang cukup tebal yang tidak mudah ditembus kuah sate.
Karena agak risih “menggunggung” kerupuk kuah besar seperti itu di tepi jalan saya meminjam piring. Lagi pula dengan piring kerupuk kuah lebih mudah dikuasai, bukan? Bihunnya tak gampang terserak. Untunyanya ibu penjual juga membawa piring. Saya nikmati si kerupuk kuah sampai tuntas.
Kerupuk Kuah Kamang, anyone? sumber