Keberadaan Sako dan Pusako Dalam Budaya Minangkabau

Tatanan budaya Minang mengenal Sako dalam setiap pagelaran pusaka Tinggi. Sedangkan Pusako adalah harta pusaka tinggi yang diterima secara turun temurun oleh kaum yang bertalian menurut garis ibu.

Menurut masyarakat Minangkabau kata Albar S Subari, Ketua Pembina Adat Sumsel Jumat 2 Oktober 2020 , dengan sistem matrilineal, warisan di ranah Minang diturunkan kepada kemenakan baik warisan gelar maupun wa­risan harta, yang disebut sako dan pusako.

Terucap dalam pepatah dikatakan turun kemamak, dari mamak turun ke kemenakan. Kemenakan (keponakan) laki laki mempunyai hak mengawasi dan mengusahakan warisan harta, sedangkan kemenakan perempuan berhak memiliki yang dikenal dengan ungkapan ” warih nan dijawek, pusako nan ditolong”.

Artinya sebagai warisan, harta itu diterima dari mamak dan pusaka dari ninik harta itu dipelihara dengan baik.

Harta pusaka dapat dibagi dua yaitu:

Harta pusaka tinggi, yaitu yang diterima secara turun temurun dalam suatu kaum yang bertali darah menurut garis ibu. Pusaka tinggi berupa tanah, sawah ladang, perumahan, emas perak dan sebagainya

Harta pisaka rendah yaitu peninggalan yang bukan turun temurun tetapi diperoleh dari seseorang sebagai harta sepencaharian. Harta pusaka hanya dapat dipaganggadaikan (Digadaikan) karena empat hal

  1. Mayat terbujur di atas rumah: yang memerlukan biaya pemakaman serta upacara kematian seorang anggota kaum memerlukan biaya besar, apalagi bila seorang yang terpandang.
  2. Menegakkan gelar pusako, yaitu mendirikan penghulu baru.
  3. Gadis dewasa yang belum bersuami yang juga memerlukan biaya yang cukup besar untuk pesta perkawinan.
  4. Rumah gadang ketirisan yaitu biaya untuk memperbaikinya cukup besar.

Pada masyarakat Minang, harta terbagi ke dalam dua jenis, yaitu harta yang bersifat materiel berupa rumah, sawah, ladang, hutan tanah dan lain lain.

Harta yang bersifat non materiel yaitu berupa gelar disebut Sako.

Warisan gelar dan sako sepanjang adat hanya berlaku kepada kemenakan yang laki laki dan mempunyai hubungan nasab saja. Turunan laki laki dari tiga orang nenek tadi sama sama punya hak untuk memakai gelar pusaka kaum yang dimiliki.

Dan tidak boleh diberikan kepada lain kaum. Pewarisan harta pusaka di samping nasab juga dibolehkan karena :

  1. Waris bertali buek, yaitu kondisi kalalah, maka atas mufakat dengan penghulu penghulu lainnya dalam suku itu, maka yang bersangkutan dapat memberikan harta pusaka kepada anaknya, tetapi bukan gelar pusaka dari kaumnya.
  2. Waris bertali budi, contoh karena seseorang penghulu merasa kasihan kepada seseorang, dan bertingkah laku baik dan dianggap anak kemenakan, dapat diberi hak atas pusaka dan atas kesepakatan dari kaum yang bersangkutan.

Bicara masalah harta pusaka masyarakat adat Minangkabau sepertinya ada kesamaan dengan kedudukan harta tunggu tubang pada masyarat adat Semende di Sumatera Selatan.

Menurut cerita berkembang di dua masyarakat di atas memang ada pertalian. Dan ini tantangan bagi sejarawan untuk meneliti secara ilmiah keterkaitan dua sistem pengaturan harta pusaka. Sumber

Related Posts

Leave a Reply