Inilah Wisata Anti-mainstream ala Bukittinggi

Inilah Wisata “Anti-mainstream” ala Bukittinggi

ROMBONGAN turis asing yang menikmati perjalanan dengan menggunakan bus nyaman ber-AC adalah hal yang biasa. Tetapi, bagaimana kalau ada rombongan turis bule diboyong naik truk, tidak ubahnya seperti mengangkut sapi ke rumah potong?

Atau rombongan wisatawan asing yang makan “bajamba” di pelosok desa dan kemudian ikut “mairiak” padi di sawah? Makan bajamba adalah budaya makan bersama membentuk lingkaran dengan hidangan makanan khas Minang yang dialasi daun pisang.

Makan bajamba biasanya dilakukan pada saat acara adat, bergotong royong, atau keramaian lainnya. Tetapi, sekarang makan bajamba bisa dilakukan di mana saja dan kapan saja, biasanya pada acara kumpul-kumpul keluarga atau reuni sekolah.

Sementara mairiak padi adalah panen secara gotong royong yang dilakukan dengan cara merontokkan butir-butir padi dari tangkainya menggunakan telapak kaki, bukan dengan teknik membanting.

Itulah yang dilakukan oleh Doddy, seorang pemandu wisata bersama istrinya Meriwati di desa Gaduik, Kabupaten Agam, sekitar sembilan kilometer di utara Bukittinggi, Sumatera Barat.

Pengalaman sebagai pemandu selama 25 tahun membuat Doddy, pria kelahiran 48 tahun lalu itu, menyadari betul bahwa pada dasarnya turis asing, terutama yang berasal dari Eropa, datang ke suatu daerah bukan untuk sekadar menikmati keindahan alamnya, tapi juga sekaligus berinteraksi langsung dan mencoba kebiasaan masyarakat setempat.

“Pada umumnya turis asing sangat senang untuk diajak sedikit bertualang dan mencoba sensasi baru yang tidak mereka dapatkan di tempat lain,” kata Doddy, lulusan salah satu perguruan tinggi swasta di Padang itu.

Dalam hal penyediaan makan siang atau makan malam pun, tamu asing tidak mencicipi hidangan yang ada di hotel atau restoran biasa, tapi di rumah kediamannya yang berada di desa.

Berawal dari banyaknya keluhan tamunya yang sebagian besar berasal dari Belanda dan Jerman soal makanan yang pedas dan tidak cocok dengan lidah mereka, Doddy pun menawarkan solusi, yaitu makan di rumahnya dengan menu masakan istrinya.

“Mereka sering mengeluh sakit perut karena makanan yang terlalu banyak cabai dan meminta saya untuk menyediakan makan yang banyak sayur-sayuran. Saya pun kemudian sediakan permintaan mereka, yaitu makan di rumah saya,” katanya.

Makanan yang disediakan tetap masakan khas padang, tetapi sudah disesuaikan dengan selera turis asing yang suka makan sayur segar dan tidak suka pedas. Saat makan bersama, Doddy beserta istri pun mengajari tamu bule tersebut mengenai tata cara makan yang berlaku dalam masyarakat Minang.

“Mereka makan bukan di atas meja, tapi bersila di lantai dan tidak boleh makan pakai sendok. Kaum perempuan tidak boleh duduk bersila dengan mengangkang, tapi bersimpuh,” kata Meri, istri Doddy yang bertanggung jawab atas urusan masak-memasak.

Apa yang diperkenalkan oleh Doddy dan Meri ternyata mendapat sambutan hangat dari tamunya karena mereka mendapatkan pengalaman dan sensasi baru yang tidak pernah didapatkan sebelumnya.

Karena rumah kontrakan mereka di Kota Bukittinggi, dekat Ngarai Sianok, berukuran kecil, sementara tamu semakin banyak, Doddy pun kemudian membeli sebidang tanah seluas lebih dari 1.000 meter persegi di Desa Gaduik, di luar Bukittinggi.

Inilah Wisata Anti-mainstream ala Bukittinggi 1

Di rumah baru tersebut, Doddy dan Meri membuat program baru, yaitu pelajaran memasak masakan tradisional Minang (cooking class), terutama rendang.

Program wisata yang dipimpin Doddy diawali dengan kegiatan “wajib”, yaitu berjalan kaki menuju ke Panorama untuk menikmati keindahan Ngarai Sianok, kemudian diteruskan ke miniatur Great Wall (Tembok Tiongkok), berkunjung ke pusat kerajinan perak Kota Gadang, makan siang di rumah penduduk, menyusuri hutan bambu, dan menyeberangi Sungai Sianok.

Setelah menuntaskan trekking dan untuk kembali ke hotel itulah, para tamu diantar dengan truk yang dalam bahasa lokal disebut “prah”. Karena mengalami sesuatu yang unik, tidak terlihat wajah kecewa atau tidak puas dari tamu asing tersebut, bahkan mereka tertawa terkekeh-kekeh saat menaiki truk berwarna kuning yang biasa dipakai mengangkut pasir.

“Kalau turis domestik disuruh naik truk, pasti mereka mengamuk,” kata Doddy yang sudah menjadi pemandu wisata sejak SMA dan sekarang khusus melayani tamu asing, bekerja sama dengan sebuah biro perjalanan yang berpusat di Belanda.

Untuk makan malam di rumahnya di Desa Gaduik yang berjarak sekitar 15 menit perjalanan dari hotel, tamu yang dalam satu rombongan rata-rata berjumlah 20 orang, diboyong dengan menyewa angkot langganan.

Hubungan emosional
Berbeda dengan paket wisata pada umumnya, di mana hubungan antara wisatawan dan pemandu tidak lebih dari sekadar hubungan bisnis, dilayani, dibayar, dan kemudian selesai, Doddy dan istrinya lebih mengutamakan sisi kekeluargaan.

Di rumahnya sekarang yang cukup luas itu, tamu bebas untuk bercengkerama dengan ketiga anaknya dan bahkan dengan masyarakat sekitar.

Bunyi bunyi jangkrik pada malam hari yang berasal dari sawah di belakang rumah, seolah menjadi sebuah orkestra alami yang membawa kesan tersendiri. Bahkan ada beberapa di antara tamu yang merasa betah di rumah keluarga Doddy dan enggan kembali ke hotel.

Hubungan keluarga Doddy dengan sebagian tamu sering berlanjut dan tetap bertahan sampai sekarang. Bahkan salah seorang tamu asal Belanda bernama Floris kecantol dengan adik istrinya, Susi. Mereka kemudian menikah dan Susi pun diboyong ke Belanda.

“Baru kali ini saya merasakan sebuah perjalanan wisata yang unik, penuh kekeluargaan, dan belum saya temukan di tempat lain,” kata Joyce (60 tahun), seorang tamu perempuan asal Belanda.

Namun, di balik sensasi wisata anti-mainstream tersebut, keluhan turis asing yang sering membuat merah kuping adalah masalah sampah, terutama sampah plastik di sekitar lokasi wisata.

“Saya sempat merasa malu ketika seorang pedagang di Panorama, Ngarai Sianok, dengan seenaknya membuang botol plastik ke selokan dan tamu saya langsung mengambil botol tersebut dan kemudian memasukkannya ke tong sampah yang tidak jauh dari situ,” kata Doddy.

Terlepas dari ketidakdisiplinan masyarakat menjaga kebersihan lingkungan, Bukittinggi untuk saat ini masih menjadi magnet bagi wisatawan untuk berkunjung ke Sumatera Barat, terutama pada musim liburan sekolah atau hari besar lainnya.

Setelah ibu kota Padang, Bukittinggi mempunyai fasilitas pendukung paling lengkap seperti hotel berbintang, rumah makan, dan jasa wisata. Saat ini terdapat lebih dari 60 hotel dengan berbagai tingkatan, mulai dari hotel berbintang, hotel melati, dan kelas backpacker.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Bukittinggi, kunjungan wisatawan asing dan domestik sepanjang 2014 lalu lebih dari 400.000 orang. Tetapi, bencana asap yang terjadi dalam dua bulan belakangan membuat kunjungan wisata turun drastis.

“Wisatawan datang ke Bukittinggi dan sekitarnya untuk menikmati keindahan alam dan udara bersih, tetapi mereka kecewa karena Ngarai Sianok dipenuhi asap dan tidak bisa melihat apa-apa kecuali asap putih,” kata Herman, salah seorang warga Bukittinggi yang sehari-hari berjualan cendera mata di sekitar Jam Gadang. sumber

Related Posts

Leave a Reply