Hadirnya penambang emas liar atau ilegal di Sumatera Barat mengancam identitas Minangkabau. Sebab aktivitas ini menyebabkan rusaknya tanah ulayat yang berdampak pada lingkungan dan sosial lainnya.
Melalui data sementara, penambang emas di Sumatera Barat,terjadi di lokasi hutan lindung, hutan produksi, dan tanah ulayat. Seperti ditemukan di Kabupaten Solok Selatan, Sijunjung, dan Pasaman.
Ribuan warga Minangkabau yang selama ini bertani dan berkebun akan kehilangan mata pencaharian setelah lahan yang ditambang habis emasnya, serta yang terlibat dalam penambangan emas liar terancam berbagai penyakit.
Terkait persoalan dampak penambangan emas ilegal tersebut, dibutuhkan musyarawah atau mufakat tokoh adat Minangkabau. Mufakat untuk mencari jalan keluar dalam upaya perbaikan lingkungan maupun ekonomi.
Mengapa penambang emas liar di Sumatera Barat mengancam identitas Minangkabau ?
Kehadiran mereka, bukan hanya menimbulkan bencana, seperti banjir dan tanah longsor, tapi juga menghilangkan mata pencaharian ribuan petani, menghilangkan tanah ulayat sebagai lahan pertanian dan perkebunan, serta merusak sumber air bersih.
Berdasarkan pemantauan dan pengumpulan informasi terkait lokasi penambangan emas liar oleh Mongabay Indonesia di sejumlah kabupaten di Sumatera Barat, sebagian lokasi penambangan merupakan tanah ulayat atau tanah adat berbagai suku Minangkabau.
Setelah ditambang emas, tanah ulayat ini pun rusak. Kerusakan atau berubahnya tanah ulayat membuatnya tidak dapat lagi dimanfaatkan sebagai perkebunan, pertanian, maupun persawahan. Bahkan, kerusakan tersebut mendorong bencana banjir dan tanah longsor.
“Salah satu penanda identitas suku Minangkabau adalah tanah ulayat. Sebab, tanah ini yang membangun peradaban masyarakat Minangkabau, sebagai sumber air bersih dan pangan. Ketika tanah ulayat rusak atau tidak lagi berfungsi seperti tujuan awal, maka terancam peradabannya. Terancam pula identitas masyarakat Minangkabau,” kata Arbi Tanjung, budayawan asal Pasaman, Sumatera Barat, Senin [17/02/2020].
Fakta ini cukup ironi. Sebab masyarakat Minangkabau dikenal dengan pepatahnya, “Alam takambang jadi guru”. Artinya, selama ini alam yang lestari yang menjadi guru bagi masyarakat Minangkabau yang sangat relijius, terbuka dan egaliter. “Jika alam rusak, maka hilang pula guru orang Minangkabau,” kata Arbi yang juga dikenal sebagai penulis sastra dan sejarah ini.
Berapa luas tanah ulayat yang ditambang emas secara illegal?
“Belum diketahui secara pasti. Kami belum menghitung atau mengindentifikasi khusus tanah ulayat atau hutan nagari yang ditambang. Tapi secara keseluruhan penambangan illegal tersebut berlangsung di kawasan hutan lindung [HL], hutan produksi terbatas [HPT], dan hutan nagari,” kata Uslaini, Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia [Walhi] Sumatera Barat, Selasa [18/02/2020].
Berdasarkan penelitian terkait penambangan emas tanpa izin atau liar di hulu DAS Batanghari di Kabupaten Solok Selatan, Sumatera Barat, yang dilakukan Walhi Sumatera Barat bersama KPA [Kelompok Pecinta Alam] WINALSA, pada Oktober 2019 lalu, ditemukan puluhan titik pada empat wilayah. Sebarannya di Kecamatan Koto Parik Gadang Diateh [KPGD], Kecamatan Sungai Pagu, Kecamatan Sangir, dan Kecamatan Sangir Batang Hari.
Di Kecamatan Koto Parik Gadang Diateh [KPGD], terdapat 28 titik aktivitas pertambangan emas liar. Saat ini, ada enam 6 titik lokasi yang masih melakukan penambangan, dan 22 titik yang ditinggalkan rusak atau tidak dipulihkan. Kerusakan hutan diperkirakan seluas 527 hektar yang berupa kawasan hutan produksi terbatas [HPT], hutan lindung [HL] dan hutan nagari [HN] Pakan Rabaa.
Pada Kecamatan Sungai Pagu terdapat tiga lokasi, tapi dua lokasi tidak lagi ditambang yang kondisinya belum dipulihkan. Semua penambangan di hutan produksi terbatas [HPT] yang berada di Tambang Bangko seluas 61,8 hektar dan Tambang Kandi seluas 58.2 hektar.
Di Kecamatan Sangir terdapat 12 titik penambangan liar. Tersisa tiga titik yang masih aktif, dan sisanya rusak. Luas lokasi penambangan sekitar 444 hektar yang berada di hutan produksi terbatas [HPT] dan hutan lindung [HL].
Sementara di Kecamatan Sangir Batang Hari, terdapat 12 titik penambangan liar. Sebanyak delapan titik masih ditambang, dan empat titik ditinggalkan tanpa dipulihkan lahannya.
Penambangan di sepanjang DAS Batang Hari yang bersinggungan dengan hutan produksi terbatas [HPT], yakni di titik Limau Sundai [71.2 hektar], Rantau Limau Kapeh [68 hektar], Tanah Galo [46 hektar], Batu Gajah [101 hektar], serta Pulau Panjang [140 hektar].
Sementara di Kabupaten Pasaman, berdasarkan pantauan Mongabay Indonesia, penambangan emas liar di tanah ulayat juga terjadi. Misalnya, di Nagari Gangggo Hilia di Kecamatan Bonjol. “Di Kecamatan Bonjol, terdapat 12 lubang penambangan di kawasan Gunung Melintang. Semuanya berada di tanah ulayat. Fungsi Gunung Melintang ini sebagai kawasan resapan air, cadangan kebutuhan air di Bonjol untuk kebutuhan rumah tangga dan pertanian,” kata Arbi Tanjung. Penambangan emas liar juga berlangsung di sepanjang DAS Sontang.
Berbeda dengan penambangan emas liar di Solok Selatan, Sinjunjung, atau Sawahlunto, yang merupakan penambangan emas terbuka, maka di Pasaman penambangan berupa penggalian batuan pada bukit. Membentuk lubang-lubang.
Beberapa titik eks penambangan yang diperkirakan tanah ulayat juga ditemukan di Kabupaten Sinjunjung. Bahkan, beberapa lokasi tanah ulayat yang sudah ditambang saat ini sulit dimanfaatkan lagi sebagai persawahan maupun pertanian.
“Dulunya, kawasan ini persawahan. Setelah ditambang, tidak bisa lagi dijadikan persawahan atau pertanian. Kalau musim penghujan, daerah ini tenggelam karena meluapnya Batang Palangki,” kata Bob Putra [32], seorang warga di eks lokasi penambangan Jorong Tangah, Nagari Muaro, Kecamatan Sijunjung, Kabupaten Sijunjung, seluas enam hektar kepada Mongabay Indonesia, Minggu [16/02/2020].
“Saat ini kami berusaha menjadikan pengembangan keramba ikan,” ujarnya.
Sumber Artikel dan photo : mongabay.co.id