Memasuki tahun 1945, Jepang mulai menunjukkan keberpihakan bagi Indonesia Merdeka. Dibentuklah Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai alias BPUPKI.
Di tiap sidang, perdebatan begitu alot di antara peserta dalam merumuskan dasar negara. Diadakanlah Panitia Sembilan, yang di dalamnya termasuk Haji Agus Salim. Piagam Jakarta 22 Juni 1945 merupakan hasil perjuangan dialogis dari kepanitiaan tersebut.
Singkat cerita, Sukarno dan Mohammad Hatta—atas nama bangsa Indonesia—mengumumkan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Republik yang baru saja lahir ini mesti berjuang keras mempertahankan kedaulatan, baik di ranah militer maupun diplomasi.
Haji Agus Salim ikut berperan besar dalam bidang yang tersebut akhir itu. Merujuk pada buku Islam dan Muslim di Negara Pancasila karya Fuad Nasar, pada 18 November 1946 sidang Dewan Liga Arab menganjurkan anggota-anggotanya agar mengakui RI sebagai negara berdaulat. Itulah upaya awal yang datang dari sisi eksternal untuk mendukung eksistensi Indonesia.
Liga Arab mengingatkan, Indonesia sama saja seperti negara-negara Arab, yakni berpenduduk mayoritas Muslim. Oleh karena itu, mereka sangat pantas bersikap solidaritas terhadap RI. Sementara itu, Belanda mati-matian ingin mencaplok lagi Indonesia sebagai jajahan pasca-Perang Dunia II.
Pada 15 Maret 1947, Mohammad Abdul Mun’im selaku utusan Liga Arab mengunjungi Presiden Sukarno di Yogyakarta. Konsul Jenderal Mesir di Bombay (India) itu menyampaikan putusan Dewan Liga Arab tertanggal 18 November 1946.
Sesudah utusan Liga Arab melawat Yogyakarta pada 15 Maret 1947, pemerintah lantas mengutus Haji Agus Salim ke sejumlah negara Arab.
Misinya tidak hanya kunjungan balasan atas kedatangan konsul jenderal Mesir di Bombay (India) itu, tetapi juga mendapatkan pengakuan resmi negara-negara Arab atas Indonesia. Sebelumnya, pada 18 November 1946 Liga Arab sudah menunjukkan itikad baik untuk mengakui eksistensi RI.
Pada 23 Maret 1947, Mesir menjadi negara pertama yang mengakui secara de jure RI. Langkah tersebut lalu diikuti negara-negara Arab lainnya, seperti Lebanon, Suriah, Irak, Arab Saudi, dan Yaman.
Misi Haji Agus Salim dan tim tidak berhenti di sana. Menteri luar negeri RI itu kemudian terbang ke New York, Amerika Serikat, pada 10 Agustus 1947.
Sebab, dalam beberapa hari lagi Dewan Keamanan PBB akan menggelar rapat yang membahas kasus de-kolonisasi pertama sejak usainya Perang Dunia II: sengketa Indonesia vs Belanda.
Pada 14 Agustus 1947, lengkap sudah tim RI pada sidang DK PBB di Lake Success, AS. Mereka terdiri atas Haji Agus Salim, Sutan Sjahrir, Sumitro Djojohadikusumo (ayahanda Prabowo Subianto) dan Soedjatmoko serta Charles Tambu.
Sutan Sjahrir, dengan bahasa Inggris yang fasih dan retorika yang memukau, berpidato di hadapan hadirin. Politikus sosialis itu mengungkapkan praktik-praktik penjajahan ratusan tahun lamanya yang dilakukan Belanda atas bumi dan manusia Indonesia. Betapa pejuang-pejuang nasionalis Indonesia terinspirasi dari perjuangan melawan penjajahan, semisal AS yang melawan kolonialisme Inggris silam.
Dampak pidato ini brilian. Dunia, termasuk AS, mengecam keras Belanda. Maka terbukalah internasionalisasi persoalan kedaulatan Indonesia. Persoalan Indonesia tidak lagi dianggap urusan dalam negeri Belanda.
Inilah yang memuluskan jalan bagi pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda dua tahun kemudian (Desember, 1949, via Konferensi Meja Bundar).
Pada 27 Agustus 1947, Haji Agus Salim kembali ke Tanah Air. Berkat kepiawaiannya melobi-lobi para petinggi negara-negara Arab serta memimpin delegasi Indonesia di PBB, Presiden Sukarno menobatkannya sebagai “The Grand Old Man.”