Filosofi Rendang

Filosofi Rendang

Rendang, jika kita mendengar namanya, pikiran dan nafsu liar perut langsung tertuju kepada ‘seonggok’ daging (biasanya masyarakat awam berfikir, daging bisa diganti dengan paru, dan hati) yang diolah dengan santan, lada merah, serta ramuan bumbu khas dengan aroma lengkuas yang dominan.

Namun ada beberapa pergeseran makna yang seolah tidak diindahkan masyarakat pada umumnya bahkan orang Minang pun perihal asal muasal kata ‘Rendang’ itu sendiri. Banyak yang salah kaprah jika Rendang adalah nama sebuah makanan, namun hal tersebut adalah proses pengerjaan terhadap masakan yang saya bahas kali ini.

Rendang atau ‘marandang’ adalah proses dimana seseorang ingin mengolah daging, santan, lada, dan bumbu tersebut, diaduk ditempat kuali ukuran jumbo. Taraf masakan hasil ‘marandang’ tersebut adalah dilihat dari durasi proses mengaduk semua bahan yang sudah dijelaskan.

Jika dalam durasi 1,5-2’5 jam, hasil masakan tersebut hanya berbentuk Kalio daging. Kalio daging secara sepintas memang terlihat seperti masakan rendang umumnya yang dijual Rumah Makan Padang di Pulau Jawa. Namun jarang kita menjumpai hasil olahan ‘marandang’ dalam bentuk fisik yang kering dari Kalio daging tersebut.

Semakin lama kita ‘marandang’, maka semakin kering daging yang dimasak di atas kuali tersebut. Semakin lama kita mengolah menurut kepercayaan para tetua adat di Minangkabau, olahan daging tersebut semakin tahan lama.

Konon, saat merantau, pemuda Minangkabau selalu dipersiapkan masakan rendang yang tahan lama tersebut untuk bekal berjalanan berminggu-minggu ke negeri Sembilan dimana lokasinya saat ini berada di Negara Jiran, Malaysia. Sehingga Rendang semakin lama dimasak, hasilnya akan semakin tahan lama.

Namun sangat disayangkan masyarakat Minangkabau kurang mengenal baik prasasti seperti kebudayaan Jawa untuk meninggalkan cerita dan kisah ke generasi selanjutnya. Hal tersebut menyebabkan kita kekurangan literasi untuk mempelajari asal muasal rendang tersebut.

Masyarakat Minangkabau mempunyai kebudayaan “Tambo” untuk mewarisi ajaran adat dan peninggalan kepada keturunan dengan lisan, sehingga kebenaran akan penelitian untuk meneliti tradisi budaya Minangkabau seperti Rendang, ditakutkan terjadi pergeseran makna.

Cukup untuk muqaddimah, saya akan langsung membeberkan filosofi rendang itu sendiri. Minangkabau adalah sebuah suku penganut di Indonesia yang sistem ajaran adatnya sangat tertuang dari masakan Rendang. Konon, menurut tetua ada mengatakan Rendang adalah salah satu makanan sakral yang disajikan untuk upacara adat, tidak seperti saat ini siapapun bebas untuk menyantap.

Saat ini, kita hanya bisa menyantapnya saja tanpa tahu makna dan filosofi rendang yang terkandung dalam masakan tersebut. Masakan Rendang Daging (Sapi) jika di audit terdiri dari Daging, Santan, Lada, dan Bumbu. Masing masing bahan utama yang disebutkan ada makna yang tersirat tentang strata sosial masyarakat Minangkabau, yakni;

1. Daging : Adalah penggambaran dari sosok Niniak Mamak, Datuak, Atau Penghulu yang memimpin kaumnya sebagai ketua adat agar hidup harmonis dan sesuai dengan norma yang sudah disepakati.

2. Santan: Adalah kelompok ‘Cendekiawan’ yang bertugas membantu pemimpin adat dalam memecahkan masalah di Masyarakat.

3. Lada: Memiliki karakter pedas, karena itu adalah perlambang sosok Ulama yang tegas menegakkan syariat Islam. Oleh karena itu istilah “Adat Basandi Suaraku, Suaraku Basandi Kitabullah” adalah perpaduan ajaran adat Minangkabau yang disempurnakan dan disesuaikan dengan ajaran Islam pasca perang Padri.

4. Bumbu: Khusus bumbu ini sangat banyak, hal ini adalah menggambarkan kondisi masyarakat Minangkabau yang terdiri dari berbagai suku, contoh 4 suku besar di Minangkabau adalah: Bodi, Chaniago, Koto, dan Piliang.

Intinya Keempat unsur element utama dari filosofi Rendang telah mewakili kondisi strata sosial masyarakat sehingga makna dan Filosofi Rendang tersebut tidak bisa dipandang dengan sebelah mata. Nanti akan saya lanjutkan lagi, terimakasih kalau ada yang mau membaca. sumber

Related Posts

1 Response

Leave a Reply