Oleh: Intan Purnama Sari, Mahasiswi Jurusan Sastra Minangkabau Unand
Pada zaman yang sudah serba modern ini, mungkin hal yang bersifat tradisional sudah mulai tidak dilirik lagi oleh khalayak ramai. Tetapi itu semua tidak terjadi untuk kesenian musik rabab di Minangkabau. Walaupun sudah banyak musik modern yang lebih terkenal di Minangkabau, musik tradisional masih bisa diterima oleh khalayak ramai.
Meskipun tidak banyak pemain dan peminat musik tradisional ini mungkin bisa dibilang hanya usia atau golongan tertentu saja yang masih mau menikmati musik tradisional tersebut. Ternyata masih ada salah seorang seniman yang memang lahir dari keluarga seniman yang masih mempertahankan musik tradisional di Minangkabau ini. Beliau bernama Bapak Iyal yang bertempat tinggal di Jati Berkah atau Jati Kampung Halaman di Kota Padang, Sumatera Barat. Iyal lahir pada bulan November tahun 1966, pada saat ini umur beliau menginjak 54 tahun.
Pria 54 tahun itu berasal dari Muarolabuah, Solok Selatan, Sumatera Barat. Di dalam adat Minangkabau memiliki masing-masing suku dan suku Iyal (54) adalah tanjung. Dia sudah berkeluarga dan memiliki 7 orang anak. Pekerjaan Iyal adalah menjadi tukang bangunan, menjadi tukang rabab itu hanya selingan dikala suntuk saja atau ketika ada panggilan acara nikahan ataupun acara yang lainnya yang ada di Padang. Beliau bisa bermain rabab itu awalnya belajar kepada gurunya yaitu Pirin Asmara di Pesisir Selatan pada tahun 1984. Iyal belajar dengan Pirin Asmara 1 sampai 2 kali dalam sebulan itupun tidak menentu jadwalnya. Karena waktu belajar beliau yang tidak menentu tadi, beliau mnegasah keahliannya dengan belajar dirumah sendiri. Masa beliau belajar kurang lebih hanya 3 bulan. Selain dengan Pirin Asmara beliau juga berguru dengan Bican, Syamsudin, dan Hasan Basri. Beliau mengasah keahlian di rabab karena memang ingin mempertahankan musik tradisional dan karena beliau juga berasal dari keluarga seniman. Kakak laki-laki beliau tidak hanya pandai bermain rabab tetapi pandai juga membuat rabab, setelah itu ada adik beliau yang bernama Yuni Surian seorang penyanyi lagu minang.
Iyal pertama kali mendapatkan gaji dari bermain rabab itu pada tahun 1995 di Bumiayu Masni di suatu acara pernikahan dan beliau dibayar sebesar Rp500.000. Ia pun bermain rabab biasanya dimulai pukul 09.00 sampai pukul 04.00 Wib pagi atau pada saat di masjid sudah mengaji untuk persiapan adzan subuh beliau berhenti memainkan rabab itu, biasanya orang minang menyebutnya samalam suntuak.
Dendang yang dilantunkan bermacam-macam mulai dari puisi minang, pantun minang, kaba (cerita minang) ataupun mencoba untuk menggoda dan merayu wanita yang ada di sekitar pemain rabab. Di daerah Sangir rabab digunakan untuk mencari jodoh, dengan cara beradu pantun dengan wanita di daerah itu, apabila pemain rabab yang menang berbalas pantun wanita itu bisa di nikahinya untuk menjadi istri sedangkan apabila pemain rabab gagal untuk melawan pantun si wanita, ia hanya mendapatkan kain panjang 2 buah saja.
Adapun bahan dasar dari rabab itu sendiri adalah dari kayu papan surian, penggeseknya dari tali nilon, dan senarnya dari senar gitar biasa. Penggesek dari rabab itu sendiri harus kesat tidak boleh licin dan alat untuk membuatnya tidak licin adalah arpis. Harga rabab yang dipunya Iyal berkisar senilai Rp500.000 itu rabab buatan Sangir sedangkan rabab buatan Bandar Buat senilai Rp800.000. pada saat ini pendapatan Bapak Iyal mencapai Rp2.500.000/Rp3.000.000 sekali panggilan acara.
Ia berasal dari Muarolabuah tetapi kenapa belajar di Pesisir Selatan?. Jadi menurut beliau asal usul Muarolabuah itu adalah nenek moyang kita yang berasal dari Batusangkar. Ada menurut orang dahulu “Dimano rumah si palito dibaliak telong nan batali, Dimano asa nenek moyang kito dari puncak lereang gunuang marapi”. Turunlah mereka ke Muarolabuah sebanyak limopuluah kurang aso atau 49. Setelah itu dibuat tiang masjid kayu di Pasir Talang yang memiliki 49 tiang untuk sejarah. Pada saat ini sudah dibuat lagi masjid baru yang lebih besar tepat disamping masjid kayu tersebut, tiang besar atau disebut tonggak marcu yang ada di masjid baru itu memiliki 49 tiang juga. Ada yang turun ke Lubuak Gadang, Sangir yang dipimpin oleh Tuanku Gadang Selo. Naik kembali ke Muarolabuah Tuanku Rajo Dibalun yang bernama Tuanku Mahmud di rumah gadang yang ada di Balun. Turun ke Pesisir selatan Tuanku Rajo Disambah, orang Muarolabuah dengan orang Pesisir Selatan memiliki dialek bahasa yang sama. Jadi kesenian ini orang Muarolabuah bisa barabab atau memainkan rabab, orang pesisir bisa berdendang dan disatukanlah rabab dengan dendang tersebut menjadi satu kesatuan yang indah dan nikmat untuk didengar. Bagi orang yang paham tentang sejarah pasti mengatakan Orang Pesisir Selatan itu asalnya dulu dari Muarolabuah.
Sumber Artikel dan Photo : minangkabaunews.com