Dua kali transit dalam 20 jam 15 menit, adalah jarak penerbangan antara Padang di Sumatera Barat dan Paris di Perancis. Tapi yang namanya jodoh itu nyatanya benar tidak akan ke mana. Saya, seorang wanita asli Minang, dipinang oleh pria asal Perancis sekitar 10 tahun yang lalu.
Karena pekerjaan suami yang sering berpindah-pindah, saya akhirnya meninggalkan karier di Jakarta dan memutuskan untuk ikut dengannya tinggal di luar negeri.
Setelah beberapa tahun merasakan kehidupan di Perancis, suami saya kembali diminta perusahaannya mengurus cabang di ibu kota Rumania, Bukares.
Perancis dan Rumania bisa ditempuh dengan mobil, kereta, atau pesawat. Walau sama-sama Eropa, nyatanya nama Rumania tak begitu familiar.
Lucunya lagi, Bukares dijuluki Little Paris atau Paris Kecil, karena pemandangannya elegan, serupa dengan Kota Mode itu.
Pertama kali saya datang ke Bukares yang membuat terkesan adalah sangat beragamnya arsitektur bangunan yang ada.
Rumania pernah mengalami pemerintahan komunis Soviet sekitar tahun 1940-an sampai 1989-an. Oleh karena itu, banyak bangunan yang berbentuk besar bergaya neo-klasik, Bauhaus, dan art deco di sana.
Yang paling banyak ditemukan ialah bangunan gereja, sinagog (rumah ibadah umat Yahudi), dan rumah susun.
Teman-teman saya di Bukares bercerita kalau gereja dan sinagog menjadi alat politik saat pemerintahan komunis. Penduduk Rumania wajib taat dengan pemerintah, salah satunya dengan tidak datang ke gereja dan sinagog untuk beribadah.
Setelah komunis pergi, penduduk bisa kembali beribadah ke gereja dan sinagog. Dirampasnya kebebasan hidup, salah satunya beragama, membuat Rumania kapok diperintah oleh komunis. Oleh karena itu saat ini negara tersebut sangat menjunjung tinggi hak asasi manusia.
Selain gereja, yang saya temui setiap hari ialah rumah susun yang disebut blok-blok komunis. Teman-teman saya juga punya beragam cerita dari para orang tuanya mengenai blok-blok komunis ini.
Mereka mengatakan, hidup di blok-blok komunis serba terbatas. Jangankan tempat ibadah, ruang hijau terbuka saja tidak ada. Penduduk Rumania seakan dilarang bersantai di rumah. Dari lahir sampai mati seperti tinggal di kandang bertembok beton.
Selalu ada perasaan was-was setiap saya melewati blok-blok komunis tersebut. Bukan takut dengan cerita hantu arwah penasaran korban pembantaian komunis. Melainkan takut tembok bangunan tua itu runtuh.
Pasalnya, setelah komunis terusir dari Rumania pada tahun 1980-an, pemerintah Rumania tak bersedia merenovasi blok-blok komunis tersebut. Penduduk boleh meninggalinya dengan kondisi yang apa adanya.
Sialnya, konstruksi bangunan itu terlalu lapuk untuk direnovasi. Paling benar ialah diruntuhkan seluruhnya lalu dibangun yang baru.
Bukan hanya saya saja yang paranoid, tetapi sebagian besar penduduk Rumania juga merasakannya. Salah satu teman saya bahkan pernah mengalami musibah, kaca mobilnya pecah terkena puing blok-blok komunis yang tiba-tiba runtuh.
Di musim dingin, bakal ada papan peringatan untuk berhati-hati melewati kawasan blok-blok komunis. Angin kencang membuat puing melapuk dan mudah runtuh.
Memandang blok-blok komunis di membuat saya jauh lebih bersyukur terhadap yang saya rasakan sekarang di Bukares. Walau jauh dari Tanah Minang dan Tanah Air, namun saya dan suami masih bisa tinggal di bangunan yang terbilang baru. Kami pun tak harus punya kenangan buruk akan penjajahan komunis. Cnnindonesia