Benarkah Nenek Moyang Orang Minangkabau Berasal dari Balik Gunung Marapi?

Benarkah Nenek Moyang Orang Minangkabau Berasal dari Gunung Marapi?

Dari sejarah yang berkembang, konon katanya nenek moyang orang Minangkabau berasal dari balik Gunung Marapi. Gunung Marapi dipercaya menyimpan cerita legenda dan sejumlah mitos yang diceritakan secara turun-temurun oleh masyarakat Agam dan sekitarnya. Keberadaan Gunung Marapi dikenal sangat kental mempunyai nilai historis bagi masyarakat Minangkabau.

Lantas bagaimana caranya untuk mengetahui kebenaran sejarah ini?

Berdasarkan Tambo bisa diketahui sejarah dari kisah asal usul nenek moyang orang Minangkabau. Tambo sendiri merupakan suatu hikayat yang menjelaskan tentang asal-usul nenek moyang orang Minangkabau. Selain itu fungsi Tambo adalah untuk menjelaskan tentang susunan ketentuan-ketentuan adat dan budaya Minangkabau yang berlaku hingga saat sekarang ini.

Dari Tambo ini kita bisa tahu nenek moyang orang Minangkabau berasal dari lereng Gunung Marapi. Hal ini ditandai dengan munculnya Nagari Tuo Pariangan di Kabupaten Tanah Datar yang juga disebut sebagai nagari tertua di Sumatera Barat. Nagari Pariangan merupakan cikal bakal lahirnya sistem pemerintahan masyarakat berbasis nagari di Sumbar.

Keturunan Alexander Agung

Sejatinya Minangkabau adalah masyarakat pegunungan dimana Gunung Marapi menjadi simbol budayanya. Mereka juga dipercaya sebagai keturunan Alexander The Great (Alexander Agung). Konon, beliau memiliki tiga orang anak, yaitu Sultan Maharaja Dipang (Sutan Maharajo Dipang), Sultan Maharaja Alif (Sutan Maharjo Alif), dan Sultan Maharaja Diraja (Sutan Maharajo Dirajo).

Pada tahun 356 sampai 323 sebelum Masehi, Alexander Agung ini memimpin Masedonia. Raja Agung ini menguasai wilayah benua Ruhum. Setelah wafat, ketiga putera mahkota tersebut berlayar ke wilayah kekuasaan yang sudah ditentukan oleh raja Alexander Agung. Salah satu dari tiga orang anaknya tetap tinggal di istana, yaitu Sultan Maharajo Alif. Sultan Maharajo Depang diperintahkan menuju ke negeri Cina, sedangkan Sultan Maharajo Dirajo disuruh menuju ke arah Tenggara.

Setelah lama berlayar mengarungi lautan, Sultan Maharajo Dirajo melihat dari jauh sebuah pulau kecil sebesar telur itik. Itulah Gunung Marapi sekarang. Kemudian, Sultan Maharajo Dirajo dan rombongan berlabuh di kaki Gunung Merapi itu.

Sultan Maharajo Dirajo dan rombongan menetap di Lereng Gunung Marapi. Ketika air mulai surut, terlihatlah sedikit demi sedikit daratan yang luas. Sultan Maharajo Dirajo memilih tempat yang baik untuk membangun tempat tinggal. Daerah itu diberi nama Nagari Tuo Pariangan.

Terbentuknya Luhak nan Tigo

Konon dulunya daerah Sumbar pernah mengalami banjir yang sangat besar. Mereka menumpangi perahu besar dan akhirnya terdampar di puncak Gunung Marapi untuk menyelamatkan diri. Pada saat banjir surut, nampaklah di bawah kaki gunung adanya Luhak nan Tigo (3 cekungan daratan). Rombongan kapal yang terdampar itu kemudian mulai menuruni tiga wilayah tersebut hingga beranak-pinak dan menjadi penghuninya hingga kini. Luhak nan Tigo yang sekarang diketahui seperti Luhak nan Tuo, yakni meliputi Wilayah Kabupaten Tanah Datar (Kota Batusangkar dan Padangpanjang).

Selanjutnya, Luhak nan Tengah yakni Wilayah Kabupaten Agam (Kota Bukittinggi). Dan Luhak nan Bungsu yang berada di Kabupaten Limapuluhkota (Kota Payakumbuh). Legenda inilah yang diyakini penduduk setempat sebagai cikal bakal lahirnya masyarakat Minangkabau yang memiliki adat istiadat budaya khas yang unik.

Adapun pantun yang menyatakan bahwa nenek moyang orang Minangkabau berasal dari balik Gunung Marapi:

Darimano Titiak Palito

(Darimana Titik Pelita)

DIbaliak Telong nan Batali

(Dari balik telong/lampu yang bertali)

Darimano Asa Niniak Kito

(Darimana Asal Nenek Moyang Kita)

Dari Puncak Gunuang Marapi

(Dari Puncak Gunung Marapi).

(Disadur dari berbagai sumber)

Related Posts

Leave a Reply