Istilah Kesenian Batombe mungkin sudah tidak asing lagi bagi sebagian besar masyarakat Sumatera Barat, khususnya Kabupaten Solok Selatan. Kesenian tradisional yang tumbuh dan berkembang dari sebuah kampung kecil bernama Nagari Abai, yang berada di Kecamatan Sangir Batang Hari ini, merupakan satu-satunya kesenian tradisional yang terlahir dari sebuah pusat pemerintahan adat di kabupaten Solok Selatan.
Bagi masyarakat Solok Selatan, Batombe diakui sebagai penyemangat warga terikat dalam semangat kegotongroyongan.
Batombe, mungkin memang satu dari sekian banyak kesenian tradisional yang berasal dari Kabupaten Solok Selatan. Namun sejarah adat mencatat, bahwa Kesenian Batombe adalah salah satu tradisi anak nagari yang lahir dari ketidaksengajaan, keapa-adaan dan tanpa rekaan.
Tapi dibalik semua itu, Batombe sebenarnya menyimpan banyak keindahan dan keberagaman karya seni yang teramat menawan. Dengan kata lain, Batombe merupakan sebuah kesenian tradisional yang telah menjadi budaya Minangkabau yang sakral.
Batombe berasal dari bahasa Abai, yang berarti berbalas pantun. Hingga kini, tidak seorang-pun yang tahu siapa penciptanya. Namun yang pasti, awal kemunculan kesenian Batombe diyakini masyarakat telah ada ketika anak nagari setempat menggelar alek b atagak rumah gadang (mendirikan rumah adat), yang dilakukan dengan cara bergotongroyong.
Jauh sebelum masa penjajahan Belanda dan masuknya Islam ke Ranah Minang, Nagari Abai masih begitu sunyi. Wilayahnya diselimuti hutan belantara, penduduknya-pun masih sangat sedikit. Hanya ada beberapa warga yang hidup secara rukun dan bersahaja. Hingga pada suatu saat, tercetuslah gagasan dari sejumlah pemuka adat, agama dan tokoh masyarakat, yakni untuk membuat sebuah rumah gadang (besar) di kampung mereka.
Adapun maksud dan tujuan pembuatan rumah gadang tersebut adalah untuk menjaga keselamatan warga dari binatang buas, sebagai rumah tinggal, sekaligus tempat pertemuan masyarakat adat, serta sebagai pusat seni dan budaya masyarakat Abai. Maka pada saat itu, jadilah seluruh masyarakat ikut serta dan terlibat aktif dalam mendirikan rumah gadang.
Sudah menjadi kebiasaan masyarakat setempat, bahwa untuk menghilangkan kejenuhan dan kelelahan saat bekerja, mereka sering terlibat dalam aksi berbalas pantun antar sesama. Ketika itulah beberapa muda-mudi termasuk orangtua berpantun irama seperti sedang melantunkan lagu. Pantun yang mereka bawakan berisi kata-kata semangat.
Kemudian mereka menari bersama. Tarian mereka energik. Pantun dan tarian yang mereka bawakan itu kemudian dikenal dengan Batombe. Mereka sengaja menampilkan batombe agar kaum pria yang sedang bekerja membuat rumah gadang kembali bersemangat mengambil kayu di hutan.
Setelah beberapa hari bekerja keras dengan cara gotongroyong, akhirnya rumah gadang
yang diimpikan-pun rampung. Masyarakat Abai pun bergembira dan bangga bisa menyelesaikan rumahgadang pertama di nagari mereka. Ilustrasi ini, setidaknya telah menjadi makna sejati awal kesenian Batombe di Nagari Abai, yakni menyemangati orang-orang yang mengambil kayu di hutan untuk sebuah rumah gadang di Abai.
Karayia indak satapian, kadarai indak sapacahan.
Penggalan petatah adat di atas, merupakan salah satu bukti nyata, bahwa Batombe dulunya sangat dikenal sebagai sebuah kesenian tradisional yang sangat dijunjung tinggi oleh masyarakat adat Kabupaten Solok Selatan. Bahkan kesenian Batombe selalu dipentaskan dalam acara-acara kebesaran adat seperti batagak gala (pemberian gelar), pengangkatan penghulu/ datuak , batagak rumah gadang, maupun pada acara-acara pernikahan anak nagari. Biasanya, Batombe digelar di dalam rumah gadang masing-masing suku yang punya hajatan.
Dalam aturannya, kesenian Batombe tidak boleh dipentaskan di sembarang tempat. Halau hanya sekedar berbalas pantun, Batombe hanya boleh dilakukan pada saat hajatan resminya. Sesuai petatah adat yang berbunyi “ karayia indak satapian, kadarai indak sapacahan” (tidak sesuai dengan kegunaan atau yang semestinya), maka sanksi adat juga telah dipersiapkan untuk setiap pelanggaran yang terjadi. Sanksi yang dijatuhkan dapat berupa pemotongan kerbau. Tidak main-main, jika ketentuan ini tidak dilaksanakan, maka masyarakat itu juga terancam akan dikucilkan dari kaumnya.
Kini, kesenian Batombe telah pula mengalami perubahan makna. Maklum, semenjak tahun 60-an, sudah tidak ada lagi pembangunan rumah gadang di daerah ini. Begitupun dengan pelaksanaannya. Kesenian Batombe yang dahulunya dilaksanakan pada siang hari (karena belum ada penerangan listrik), sekarang sudah digelar pada malam hari hingga menjelang Subuh.
Biasanya, Kesenian Batombe diadakan selama tujuh hari berturut-turut. Dahulu, peserta Batombe boleh diikuti oleh muda-mudi, bahkan orang yang sudah berkeluarga. Namun setelah mengalami proses perjalanan yang sangat panjang, maka untuk sekarang Batombe tidak diperbolehkan lagi bagi orang yang sudah berkeluarga.
Terlepas dari asal muasal, sejarah, serta perjalanan panjang dari perkembangan Batombe sebagai sebuah seni tradisi, yang jelas semangat “sang penyemangat” itu masih terus terpatri di tengah-tengah masyarakat Nagari Abai.
Sayang sekali jika kekayaan budaya anak negeri ini harus terlindas oleh kemajuan zaman dan berbagai bentuk pengaruh globalisasi. Sudah saatnya pula para pemangku adat dan niniak mamak mewariskan makna hakiki dari seni Batombe, yakni sebagai “sang penyemangat” dari semangat warga.