Kesepakatan Bukit Marapalam ini disebutkan oleh sebagian cerdik pandai dan pemuka masyarakat Minangkabau sebagai Marapekan alam. Marapek alam itu berarti “mempertemukan pikiran masing-masing yang berbeda” Namun kesepakatan tersebut masih menyisakan tanda tanya bagi sebagian besar orang Minangkabau dan para ahli, kapan sebenarnya berlangsungnya pertemuan.
Dan apa landasan pikir dan latar belakangnya, sehingga disebut sebagai filosofi, tidak banyak orang yang tahu. Bung Hatta dalam Seminar Sejarah dan Kebudayaan Minangkabau di Batusangkar (1970) mengemukakan bahwa ungkapan itu tidak pernah didengarnya waktu kecil, yang didengarnya adalah ; Adat basandi Syarak-Syarak basandi Adat.
Lantas bagaimana menyikapi apa yang disampaikan oleh Bung Hatta dengan peristiwa Sumpah Sati Bukit Marapalam, yaitu Adat basandi Syarak-Syarak basandi Kitabullah?
Merujuk apa yang telah dilakukan sebelumnya oleh Syekh Burhanuddin dan keempat temannya, yaitu Adat basandi Syarak-Syarak basandi Adat, seperti yang diungkapkan oleh Bung Hatta dalam Seminar Sejarah dan Kebudayaan Minangkabau di Batusangkar itu, merupakan penjelasan dan pengulangan dari upaya Syekh Burhanuddin, menyatukan antara agama dan adat.
Yang pada kurun waktu itu mengurangi konflik dengan kaum adat, terutama konflik dengan kekuasaan di Pagaruyung. Bagindo M.Letter salah seorang ulama Sumatra Barat kelahiran Pariaman memberi komentar,”Persenyawaan adat dan syarak yang dirintis oleh oleh Syekh Burhanddin Ulakan , adalah buah karya besar, yang tidak ternilai harganya bagi kehidupan sosial dan budaya orang Minangkabau.”
Kilas balik dari upaya Syekh Burhanuddin tersebut, dapatlah digambarkan bahwa setelah 10 tahun mengajar di Ulakan, ia mengadakan evaluasi menyangkut perkembangan perguruan dan umat Islam di Minangkabau, serta bagaimana sikap kaum adat atau para penghulu dalam menerima ajaran Islam.
Setelah diadakan pertemuan di surau Tanjung Medan, Syekh Burhanuddin tahun 1079 H pada bulan Syafar (1659 M). Memang setiap bulan Syafar, Syekh Burhanuddin bersama temannya yang sama-sama belajar di Aceh dulu, yang kemudian membantu mengajar di Ulakan senantiasa melakukan pertemuan. Dalam pertemuan tahunan tersebut senantiasa dibicarakan adat dan syarak, yang kebiasaan ini pun diikuti oleh perguruan masing-masing, yang kemudian menjadi tradisi pada masa ini.
Dan secara kebetulan wafatnya Syekh Burhanuddin bertepatan dengan bulan Syafar tahun 1111 H, maka disepakati pula pada bulan Syafar dilaksanakan acara ziarah ke makam guru – pada bulan terang atau purnama- Pertemuan tahun 1079 H/1659 M ini melahirkan dua rekomondasi penting :
Pertama : untuk mempercepat perpaduan antara adat dan agama, maka diperlukan dukungan lebih besar dari para penghulu yang berkedudukan di wilayah Darek. Kedua : dengan lambatnya pengembangan Islam di Luhak nan Tigo (pusat alam Minangkabau), karena dalam pengembangannya pemuka-pemuka agama mendapat tantangan dari kalang adat, disebabkan oleh ; pengaruh dari agama Budha yang masih berbekas bagi masyarakat pedalaman.
Sementara itu para penghulu (kaum adat) masih kukuh memegang kebiasaan-kebiasaan jahiliyah, seperti menyabung ayam dan minum tuak, bermain dadu, dan perbuatan maksiat lainnya. Dan di kawasan Luhak 50 Kota, asal mulanya masuk Islam, pernah terjadi pertentangan antara paham Sunni dan Syiah.
Dengan pertentangan paham keagamaan tersebut, maka kekuasaan di Minangkabau, dipecah dalam tiga bentuk, yaitu ; Raja Adat di Lintau Buo, Raja Ibadat di Sumpur Kudus, Raja Alam di Pagaruyung. Ketiganya disebut Rajo Tigo Selo.
Walaupun demikian ketiganya merupakan simbol belaka. Sedangkan kekuasaan pemerintahan dilaksanakan oleh Basa Ampek Balai. Mereka adalah Datuk Bandaro menjabat menteri utama dan menteri keuangan, yang berkedudukan di Sungai Tarab.
Tuan Indomo menteri urusan Adat yang berkedudukan di Suruaso. Berikutnya, Tuan Mangkudum sebagai pengatur wlayah kerajaan urusan rantau, bermarkas di Sumanik. Sedangkan Tuan Qadi sebagai menteri agama yang berkedudukan di Padang Ganting. Perangkat ini pun ditambah dengan Tuan Gadang di Batipuh sebagai menteri pertahanan dan keamanan.
Kalau ditilik maka Tuan Mangkudum yang menjabat sebagai menteri urusan rantau, maka kekuasaannya lebih besar, karena segala ajaran yang masuk ke Minangkabau dialah yang menentukan. (bersambung … 3) sumber