Alunan suara saluang sirompak instrumen tiup tradisional khas Minangkabau yang terbuat dari bambu membuat para penonton yang sebelumnya riuh menjadi diam seketika.
Sesekali suara lengkingan dari alat musik tersebut membuat setiap mata tertuju pada dua orang pemusik yang jari-jarinya menari lihai pada lima lubang di bagian bawah saluang.
Sirompak, begitu masyarakat menyebut adalah sepotong bambu yang merupakan alat musik tiup khas daerah Taeh di Luhak Limopuluah Kota, lantunan nadanya seketika mengisi malam di langit Kota Payakumbuh, Sumatera Barat.
Beberapa saat setelah alunan saluang sirompak berbisik secara bergantian ke daun telinga, dendang atau nyanyian beberapa pria pun mulai mengiringi irama saluang.
Suasana malam dengan alunan dendang serta saluang sirompak membuat setiap penonton bergidik, biasanya bagi masyarakat tradisional, basirompak dikenal sebagai ritual yang dilakukan untuk mengirimkan jampi-jampi atau guna-guna pada seseorang.
Malam itu, dalam rangkaian kegiatan Payakumbuh Botuang Festival (PBF) 2017 yang dihelat pada 2 Desember 2017, satu grup musik senior asal Padang, Talago Buni memainkan sebuah komposisi musik yang berangkat dari tradisi masyarakat Limapuluh Kota dengan judul Galuik Sirompak.
Tujuh orang pemusik duduk setengah melingkar di atas panggung dengan menghadap penonton, di hadapan mereka tersusun beberapa alat musik yang digunakan untuk memainkan komposisi sirompak.
Setidaknya terdapat empat buah Saluang Sirompak yang digunakan dalam pertunjukan ini, serta ditambah dengan beberapa tambahan alunan flute yang juga berasal dari alat musik yang terbuat dari bambu.
Pada gubahan tersebut, salah seorang pemusik, Susandra Jaya mengatakan instrumen tiup terasa begitu kuat dengan sentuhan perkusi sehingga keseimbangan komposisi tetap terjaga dengan baik.
Selain alat musik, komposisi tersebut juga diperkaya dengan sentuhan vokal yang mendendangkan lirik-lirik sirompak yang pada dasarnya merupakan mantra-mantra yang dipakai dalam ritual basirompak.
“Den suruah sirayo setan, jagokan adiak den tidua,” dendang para pemusik secara bersamaan sehingga nuansa malam di kawasan Panorama Ampangan Payakumbuh terasa begitu magis.
Susandra Jaya mengungkapkan saluang sirompak merupakan salah satu alat musik tiup khas Minangkabau yang memiliki keunikan tersendiri dibandingkan dengan alat musik lainnya.
Ia menjelaskan tangga nada pada alat musik tersebut tidak sama dengan tangga nada musik biasa, keduanya memiliki tangga nada minor sementara yang lainnya memiliki nada mayor dengan tangga nada diatonik.
Saluang sirompak memiliki tangga nada pentatonik yang terdiri dari lima nada, yaitu sol la do re mi dan hal tersebut begitu mencirikan keminangkabauannya.
Hal tersebut, menurut Susandra Jaya yang merupakan tenaga pengajar di Institut Seni Indonesia (ISI) Padang Panjang memberikan ruang untuk melakukan eksplorasi lebih luas.
Terkait dengan sirompak sebagai sebuah kearifan lokal yang diangkat menjadi sebuah pertunjukan, Direktur Artistik Talago Buni, Edy Utama mengatakan pada saat ini dibutuhkan kreativitas-kreativitas baru dalam mendinamisasi sebuah tradisi agar dapat diterima oleh masyarakat.
Saluang sirompak menurut dia, merupakan kesenian tradisi dengan alat musik yang sangat simpel, akan tetapi memiliki nilai yang begitu tinggi sebagai sebuah kearifan lokal.
Dalam tahap ini, kesenian tradisi ibarat sebuah sumber air yang tidak akan pernah kering dan sumber tersebut dapat melahirkan kesenian-kesenian baru dengan tetap mencerminkan nilai-nilai tradisi tersebut.
Selain Talago Buni, dalam kegiatan yang sama grup musik asal Payakumbuh La Paloma juga menjadikan sirompak sebagai ide garapan komposisi.
Tak jauh berbeda dengan Talago Buni, alunan suara saluang sirompak disertai dendang juga menarik seluruh perhatian penonton untuk tidak terlepas dari panggung yang diisi oleh sepuluh orang pemain musik.
Pada setiap nada yang dimainkan, penonton terpaku pada setiap pemain yang sibuk memainkan berbagai instrumen menjadi sebuah garapan musik yang begitu jarang ditampilkan di tengah-tengah masyarakat.
Alex yang juga merupakan komposer menuturkan dalam garapan tersebut ia menggunakan dua saluang sirompak yang masing-masingnya menggunakan nada dasar in A dan in C.
Untuk memperkuat komposisi, dua orang pendendang wanita dihadirkan untuk mendendangkan mantra-mantra Sirompak yang sengaja dinyanyikan dengan irama baru.
Garapan tersebut menurutnya tidak terfokus pada dendang atau nyanyian, akan tetapi lebih mengarah pada legenda Sirompak itu sendiri, yang mana menceritakan sebuah cinta tak terbalas.
Ia menceritakan legenda Sirompak berawal dari kisah seorang pria bernama Simambau yang jatuh hati pada seorang wanita bernama Puti Losuang Botu.
Akan tetapi ketika Simambau menyatakan niat untuk meminang Puti Losuang Batu, hal yang tidak ia inginkan terjadi, Puti Losuang Batu menolak pinangannya dan bahkan menghina Simambau.
Tidak terima dengan penolakan dan hinaan tersebut, Simambau kemudian melakukan sirompak yang bertujuan untuk mengguna-guna Losuang Botu dengan proses magis, yaitu berdialog dengan alam ghaib.
“Garapan ini lebih terfokus pada proses pemanggilan jin atau Sijundai untuk membalas kekesalan serta menangkan kecamuk hatinya saat ditolak oleh Puti Losuang Botu,” katanya sesaat setelah melakukan pertunjukan.
Dengan menggunakan sukat 3/4 yang membuai, kemudian Alex memberikan garapan ini judul Buaian Sijundai, sebab alunan musik yang komposisinya yang membuai.
Pada bagian awal komposisi, beberapa alat perkusi dimainkan dan waktu yang sedikit lama sementara sejatinya ritual sirompak sama sekali tidak menggunakan alat musik perkusi.
Hal tersebut dijelaskan Alex sebagai sebuah interprestasi dari kesakralan sirompak, sebab dalam tradisi musik primitif, pengulangan pola yang dilakukan dalam waktu yang lama akan membawa pada suasana antara sadar dan tidak.
Selain itu, pada komposisi tersebut ia juga menyelipkan bunyi ‘noise’, sebab ia menilai kesakralan sirompak sebagai ritual sudah mulai buram pada saat ini.
Dua pertunjukan yang mengambil ide dari tradisi sirompak ini menjadi suguhan menarik di antara banyak pertunjukan yang dihadirkan dalam rangkaian PBF 2017.
Dengan tidak meningalkan nilai-nilai tradisi, pertunjukan oleh Grup Musik Talago Buni yang sudah berdiri semenjak 1998 dan Grup Musik La Paloma dihadiahi apresiasi tepuk tangan dari ribuan penonton yang hadir pada malam pertunjukan tersebut. antara
Sejarah Saluang Sirompak
Zaman dulu kala, nyanyian yang didendangkan oleh orang-orang tak hanya sekadar untuk dinikmati oleh telinga saja. Ada maksud lebih dalam dari penciptaannya.
Di Jawa punya lagu ‘Lir Ilir’ hingga ‘Lingsir Wengi’ yang dibuat oleh Sunan Kalijaga. Dulu lagu-lagu tersebut diciptakan sebagai salah satu sarana berdakwah melalui kesenian.
Sementara di kawasan Sumatera Barat muncul sebuah kebudayaan tradisional yang masih bertahan hingga saat ini. Warga di sana biasa menyebutnya dengan Sirompak yang berarti rompak atau pemaksaan.
Dulu Sirompak berisi syair-syair yang berbau magis. Mantra yang dinyanyikan itu dianggap ampuh untuk menarik lawan jenis seperti ilmu pelet. Sirompak juga punya paketan berupa Gasiang. Nah, paketan ini juga yang membuat seni tradisional tersebut semakin menyeramkan.
Anusirwan menceritakan kisah horor lainnya ketika seseorang melakukan tradisi tersebut. Menurutnya, sempat ada orang yang terkena mantra sampai hilang kesadarannya.
“Jadi dulu itu mereka membawa tengkorak asli, diambil dari kuburan orang yang tujuh hari meninggal. Dan, itu dipilih bukan dari orang sembarangan,” kata Anusirwan yang merupakan Komite Musik di Dewan Kesenian Jakarta saat berbincang dengan detikHOT.
Anusirwan mengatakan, ritual tersebut kini sudah tak dipakai lagi. Menurutnya, sekarang banyak orang Minang yang sudah beragama Islam dan ritual tersebut tidak cocok dengan kemanusiaan.
“Sekarang sudah berubah total, tapi masih ada yang melakukan itu. Tapi tidak berupa seperti aslinya, kalau di kampung masih dipakai tapi ketika Gasiang, itu dibuat dari batok kelapa dan lagu-lagunya sedikit diganti,” tuturnya.
Pria yang juga membuat Komunitas Altajaru itu memang konsen terhadap budaya khususnya musik tradisional. Dengan komunitasnya, ia berhasil menggaet pemuda-pemudi untuk tidak melupakan budaya leluhurnya.
Di tengah gempuran budaya pop, mereka seperti tak lelah untuk terus berkarya. Menurut Anusirwan, jika diibaratkan sebuah labirin, mereka menyebut kesenian tradisional itu berada di labirin yang berbeda.
“Banyak generasi muda tak dapat informasi yang benar, bagaimana mereka mencintai musik tradisional mereka sendiri. Dengan itu, diambil falsafah Minang tersebut, Altajaru itu Alam Terkembang Jadi Guru’. Alam yang dimaksud itu adalah alam pikiran, bagaimana anak muda bisa berkreasi dari tradisi manapun tapi harus mengetahui dari mana dulu dia berasal,” tukasnya. detik