Adanya gerakan merantau tidak dapat dilepaskan dari sistem kekerabatan matrilineal yang dianut dalam budaya Minang. Pada sistem ini, laki-laki tidak memiliki hak kuasa terhadap harta warisan selain harta pusaka rendah atau harta gana-gini. Sementara perempuan memiliki hak pada harta pusaka tinggi seperti rumah dan tanah warisan.
Perangkat budaya yang mendukung turut mengukuhkan gerakan merantau sebagai lembaga sosial bagi kelompok etnis Minangkabau. Dengan sejumlah faktor penarik lainnya seperti pendidikan dan pekerjaan, merantau bertahan menjadi tradisi yang terus terwariskan secara turun-temurun.
Untuk kelompok etnis Minang, rumah diperuntukkan bagi anak perempuan. Dahulu, setelah akil balig atau mulai beranjak dewasa, seorang anak laki-laki tidak lagi tidur di rumah orangtuanya. Sebab, laki-laki di Minangkabau tidak memiliki ruangan khusus untuk beristirahat pada malam hari. (Elfindri, dkk, 2010)
Kontrol sosial juga dilakukan oleh sesama anak laki-laki di Minangkabau. Mereka akan menganggap anak laki-laki yang tidur di rumah orangtua sebagai anak manja. Bahkan, terdapat sebutan ”bujang gadih” atau lelaki yang memiliki sifat feminim, bagi anak laki-laki yang masih tidur di rumah orangtua.
Kondisi inilah yang mendorong anak laki-laki untuk belajar hidup mandiri dan jauh dari rumah. Salah satu cara yang dilakukan adalah dengan menginap di surau atau masjid kecil yang multiguna.
Biasanya, pemuda Minang berada di surau sejak menjelang maghrib hingga pagi hari. Surau turut menjadi perangkat budaya yang mendukung persiapan pemuda Minang untuk merantau. Dari suraulah mental untuk hidup mandiri dibentuk.
Selain menuntut ilmu agama, surau juga dimanfaatkan untuk kegiatan diskusi ataupun mempelajari kebudayaan Minang, seperti silat, randai, hingga adat istiadat lainnya. Keterampilan para pemuda juga dibentuk oleh pemangku adat melalui pendidikan di surau, seperti memasak dan menjahit.
Para tokoh bangsa seperti Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, dan Muhammad Yamin adalah sosok perantau yang dibesarkan di surau. Melalui suraulah pribadi mereka dibentuk sebelum meninggalkan kampung halaman.
Hatta, misalnya, berguru kepada Muhammad Djamil Djambek, seorang ulama besar pada awal abad ke-20. Hingga kini, surau tempat Hatta menimba ilmu masih berdiri kokoh di Bukittingi, Sumatera Barat, yang dikenal dengan nama Surau Inyiak Djambek.
Sayangnya, kebiasaan untuk tidur di surau kini kian pudar. Tradisi tersebut mengalami metamorfosis menjadi konsep pendidikan modern berbasis jam pelajaran. Di daerah perkotaan, pelajaran mengaji di masjid atau surau biasanya dilakukan setelah shalat Ashar hingga menjelang Maghrib. Sementara di daerah perdesaan, pelajaran mengaji dilakukan setelah shalat Maghrib hingga menjelang Isya.
Walakin, tradisi merantau yang berhasil dibentuk melalui pendidikan di surau hingga kini tetap bertahan. Eksistensi tradisi merantau juga didorong oleh adat istiadat yang tertuang dalam pepatah petitih Minang.
Misalnya, pepatah merantau bagi anak muda Minang yang berbunyi ”karatau madang di hulu, berbuah berbunga belum. Merantau bujang dahulu, di kampung berguna belum”. Pepatah ini bermakna bahwa merantau perlu dilakukan bagi anak muda untuk mencari pengalaman di luar kampung halaman.
Selain itu, juga terdapat pepatah Minang yang berbunyi ”di mana bumi dipijak, di sana langit dijunjung”. Pepatah ini menjadi modal bagi perantau Minang untuk bersifat lentur dan menjunjung budaya atau kebiasaan yang dianut oleh masyarakat di daerah rantau.
Berkat tradisi yang mengakar, merantau telah membudaya. Hingga saat ini, para pemuda Minang tetap memutuskan untuk meninggalkan kampung halaman dengan beragam tujuan, terutama untuk menuntut ilmu dan mencari pekerjaan.
Pendidikan menjadi salah satu faktor penarik bagi masyarakat Minang untuk merantau. Tak hanya di Indonesia, merantau dengan alasan pendidikan bahkan juga dilakukan hingga ke negara lainnya.
Pada medio akhir abad ke-19, gerakan merantau untuk pendidikan dilakukan hingga ke jazirah Arab. Para perantau menuntut ilmu agama untuk kembali diajarkan kepada anak-anak muda di kampung halaman.
Pada 2018, jumlah perempuan di Sumatera Barat lebih banyak 19.851 jiwa dibandingkan dengan penduduk laki-laki.
Usai Indonesia merdeka, merantau dengan tujuan untuk belajar juga masih dilakukan para pemuda Minang. Pada Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, misalnya, dari 1.824 lulusan pada periode 1950-1970, sebanyak 144 orang berasal dari kelompok etnis Minangkabau. (Naim, 2013)
Hingga kini, merantau untuk menimba ilmu masih dilakukan para pemuda Minang. Masifnya gerakan merantau terlihat dari lahirnya paguyuban mahasiswa Minang pada kampus-kampus ternama di luar Sumatera Barat.
Beberapa di antaranya adalah Ikatan Mahasiswa Minang di Universitas Indonesia, Unit Kesenian Minangkabau di Institut Teknologi Bandung, dan Forum Komunikasi Mahasiswa Minang di Universitas Gadjah Mada.
Biasanya, setelah lulus dari pendidikan tinggi, para perantau Minang tidak kembali ke kampung halaman. Mereka tetap menetap di daerah rantau untuk membangun kehidupan dan peradaban baru.
Selain pendidikan, ada pula perantau yang khusus bermigrasi dengan tujuan untuk bekerja. Masyarakat Minang yang merantau dengan pola ini dapat dengan mudah ditemui pada pusat-pusat perdagangan di Jakarta, seperti Pasar Tanah Abang dan Pasar Senen.
Kebiasaan ini telah lama dilakukan kelompok etnis Minang. Pada tahun 1970, misalnya, menurut catatan sosiolog Mochtar Naim, para pedagang Minang telah menyebar pada sejumlah pusat kaki lima di Jakarta, seperti Pasar Rumput, Bendungan Hilir, Pasar Minggu, dan Sawah Besar.
Komposisi
Merantau terus dilakukan hingga saat ini, terutama oleh kaum laki-laki. Tradisi ini berbanding lurus dengan komposisi penduduk di Sumatera Barat yang lebih banyak dihuni oleh perempuan dibandingkan dengan laki-laki.
Menurut catatan Badan Pusat Statistik, selama satu dekade ke belakang, perempuan selalu mendominasi komposisi penduduk di Sumatera Barat. Pada tahun 2018, misalnya, jumlah perempuan di Sumatera Barat lebih banyak 19.851 jiwa dibandingkan dengan penduduk laki-laki.
Menilik berdasarkan wilayah, dari 19 kabupaten/kota di Sumatera Barat, jumlah penduduk perempuan pada 13 daerah di antaranya lebih banyak dibandingkan penduduk laki-laki. Selisih terbesar adalah pada penduduk di Kabupaten Tanah Datar dengan jumlah perempuan lebih banyak 7.791 jiwa dibandingkan dengan laki-laki.
Selisih penduduk yang besar juga terlihat di Kabupaten Agam. Pada tahun 2018, jumlah perempuan di daerah ini lebih banyak 7.462 orang dibandingkan dengan laki-laki. Hal serupa terjadi setiap tahunnya sejak tahun 2000.
Kabupaten Tanah Datar dan Agam adalah dua dari tiga daerah yang diyakini sebagai wilayah asal-usul kelompok etnis Minang. Daerah ini juga dikenal dengan sebutan ”Luhak nan Tigo”.
Masyarakat pada daerah-daerah tersebut hingga kini masih teguh menerapkan budaya merantau, khususnya bagi laki-laki. Wajar, jika jumlah penduduk laki-laki lebih sedikit dibandingkan jumlah penduduk perempuan.
Kondisi yang berbeda terjadi pada sebagian kecil wilayah lainnya di Sumatera Barat, seperti Padang, Pasaman Barat, dan Dharmasraya. Proporsi jumlah penduduk laki-laki di wilayah itu lebih banyak dibandingkan dengan perempuan. Hal ini terbilang wajar mengingat daerah tersebut merupakan tujuan para pendatang dari beberapa daerah atau yang dikenal sebagai daerah rantau.
Sebagai tradisi yang telah berlangsung selama ratusan tahun, merantau tampaknya akan terus dilakukan oleh kelompok etnis Minangkabau, apa pun latar belakangnya. Kelompok etnis Minang, nasi Padang, dan rendang akan tetap dapat ditemui di seluruh penjuru negeri.
Sumber photo : www.amazon.ca